Senin, 29 Maret 2010

Iqra'

BACALAH…

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS. Al-‘Alaq [96]: 1-5).

Bacalah (Iqra`)! Itulah misi profetik pertama dari kerasulan Muhammad Saw. Suatu misi yang agak membingungkan bagi seorang “ummi[1] seperti Nabi Muhammad Saw. Membaca apa (mâ aqra’)? Sungguh aku tidak mengerti harus membaca apa. Aku ini bukan seorang pembaca (mâ anâ bi qâri’). Demikian, Nabi mengekspresikan kebingungannya dalam menerima misi pertama ini. Kata iqra’ terambil dari kata qara`a yang asalnya berarti al-jam’u (menghimpun). Dalam bahasa keilmuan, kata menghimpun mengandung arti melakukan pembacaan, pendalaman, penelaahan dan penelitian, hingga menemukan ciri-ciri spesifik pada apa yang dibaca. Menunjuk pada pengertian ini, maka perintah iqra` tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis atau suatu pernyataan yang terdengar. Karena itu, perintah membaca dalam teks wahyu pertama ini, tidak sekedar membaca teks tertulis seperti yag lazim dikesani dalam istilah membaca, tetapi lebih dari itu adalah perintah membaca realitas. Hal itu, juga didasarkan pada kaidah bahwa suatu kata dalam susunan redaksi yang tidak disebutkan obyeknya—seperti perintah iqra` di atas, tidak disebutkan obyek yang harus dibacanya—maka obyek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut. Berdasarkan teks Iqra` ini, nabi diperintahkan untuk memahami teks serta realitas budaya yang terjadi agar lebih siap dalam mengemban misi profetik selanjutnya. Dengan membaca secara reflektif-kontemplatif, seorang akan mampu menangkap cahaya kebenaran, dan dengan cahaya kebenaran ini, seseorang akan memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan.

Bacalah atas nama Tuhanmu yang telah menciptakan, yaitu telah menciptakan manusia dari ‘alaq”. Penggalan ayat ini menunjukkan cara pembacaan yang harus didasarkan atas nama Tuhan sebagai manifestasi terima kasih atas kemurahan dan kedermawanan-Nya. Sebab, Tuhanlah yang telah menciptakan manusia dari ‘alaq, dan atas kemurahan Tuhan pula manusia bisa membaca. Hal itu, ditunjukan secara jelas pada penggalan ayat berikutnya: “Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) melalui perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. Karena itu, sangatlah wajar apabila membaca itu harus atas nama Tuhan Yang Pemurah. Kata akram dalam teks wa rabbuka al-akram, mengandung arti dermawan atau bangsawan. Asal katanya dari karama yang berarti memberi yang selayaknya, tampa mengharap balasan (a’tha mâ yanbaghi bi lâ ghardhin). Sedangkan al-qalam dapat dipahami sebagai segala macam alat untuk memperoleh pengetahuan, termasuk pena, mesin tulis, komputer, dan alat riset canggih lainnya.

Secara umum, wahyu pertama ini mengandung tiga misi kerasulan Muhammad Saw., yaitu misi ketuhanan (rububiyah), misi kemanusiaan (insaniyah) dan misi peradaban (al-‘ilm). Misi pertama (ketuhanan) adalah misi utama kenabian Muhammad Saw. yang di arahkan bagi upaya rekonstruksi sistem keyakinan yang menyimpang, yaitu dari keyakinan “berhalaisme” kepada keyakinan Tuhan sejati (monoteis). Misi ketuhanan ini menjadi utama dan penting karena penyimpangan dalam sistem keyakinan berdampak luas pada dimensi kemanusiaan dan peradaban. Dalam dimensi kemanusiaan, faham keyakinan berhalaisme ini melahirkan praktek diskriminasi, ketidakadilan dan ketidakpedulian sosial. Sementara dalam dimensi peradaban, faham keyakinan “berhalaisme” ini menciptakan masyarakat barbar (tidak beradab), di mana uang menjadi orientasi kekuasaan dan kekerasan menjadi satu-satunya hakim atas semua nilai, serta kecurangan dan tipu daya menjadi seni kehidupan. Oleh karena itu, sejalan dengan misi ketuhanan, misi kedua dari kerasulan Muhammad Saw. adalah misi kemanusiaan yang diarahkan bagi penegakkan tata sosial yang egalitarian dan berkeadilan. Sementara misi ketiga (peradaban) diarahkan pada perwujudan masyarakat modern yang berkemajuan, berlandaskan moral (makârim al-akhlâq), aturan-aturan, norma-norma dan kaidah-kaidah peradaban.

Misi pertama (ketuhanan) disebutkan dalam teks wahyu pertama dengan mengintrodusir pernyataan bismi rabbik al-ladzi khalaq dan ungkapan wa rabbuka al-akram. Kedua pernyataan ini diintrodusir untuk menegaskan ketuhanan sejati sebagai kritik atas keyakinan ketuhanan yang menyimpang dalam tradisi masyarakat Arab. Yaitu, keyakinan terhadap ketuhanan Lata dan Uza yang biasa mereka sebut dalam segala bentuk ritual keagamaan dan aktivitas kehidupan. Wahyu pertama di atas, merupakan pembebasan dari keyakinan ketuhanan semu tersebut dengan menegaskan orientasi baru terhadap ketuhanan sejati, yaitu Tuhan pencipta dan pemelihara kehidupan. Istilah rabb tidak hanya berarti ketuhanan pasif, yakni sekedar pencipta, melainkan mengandung arti ketuhanan dinamis, yakni sebagai pencipta sekaligus pemelihara dan pengatur kehidupan. Dalam surat al-A’la disebutkan bahwa Tuhan (rabb) yang diperkenalkan Muhammad Saw. adalah Tuhan yang menciptakan (khalaq), menyempurnakan ciptaan-Nya (fa sawwâ), memberikan ukuran—menetapkan konstitusi-konstitusi dan potensialitas-potensialitasnya—(qadara), serta memberikan petunjuk atau pedoman dalam pergerakannya (fa hadâ).

Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk (QS. al-A’la [87]: 1-3).

Dengan demikian, secara ringkas dapat dijelaskan bahwa pernyataan bismi rabbika al-ladzi khalaq (atas nama Tuhan Yang Menciptakan) merupakan misi transendensi kehidupan, yakni bahwa segala aktivitas kehidupan harus diorientasikan semata-mata sebagai pengabdian kepada Tuhan sejati. Makna ini juga yang terkandung dalam ungkapan basmallâh, yaitu bahwa seluruh aktivitas hidup harus dimulai dengan atas nama Allah, dilakukan dengan sebaik-baiknya hanya sebagai pengabdian kepada Allah (lillâhi ta’âla), dan hasilnya didedikasikan kepada Allah.[2] Inilah, misi pertama kenabian Muhammad, Saw. yang harus menjadi nilai atau etos dalam segala aktivitas kerja, keluarga, masyarakat, organisasi, bisnis (ekonomi), politik (penyelenggaraan kekuasaan), pengelolaan pendidikan, penegakkan hukum, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kesehatan dan lingkungan hidup serta pengembangan seni-kebudayaan.

Misi kedua dari kenabian Muhammad Saw., yakni misi kemanusiaan ditunjukkan dalam ayat ketiga surat al-Alaq yang berbunyi: khalaq al-insâna min ‘alaq (Yang telah menciptakan manusia dari ‘alaq). Kata ‘alaq—bentuk jamak dari ‘alaqah—mengandung arti plural, yakni di antaranya berarti segumpal darah yang beku (al-dam al-jâmid). ‘Alaq dalam pengertian segumpal darah yang beku ini hampir dijumpai dalam seluruh kitab tafsir klasik, termasuk Al-Quran terjemahan Departemen Agama. ‘Alaq juga diartikan sebagai “sesuatu yang berdempet dan bergantung”, serta diartikan “sejenis cacing” (lintah). Hingga kini, pengertian ‘alaq ini masih debatable dan kontroversial, apalagi dengan penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang genetika dan embriologi. Karena itu, terlepas dari kontroversi pengertian ‘alaq tersebut, yang terpenting adalah mengungkap makna dan pesan profetiknya.

Berkaitan dengan misi kemanusiaan di atas, teks ayat ketiga dari wahyu pertama ini, menjelaskan bahwa seluruh manusia diciptakan dari asal yang sama, yakni ‘alaqah. Oleh karena itu, semua manusia adalah sama dan setara (equality) dihadapan Tuhan, tidak ada yang inferior atau superior. Gagasan kesetaraan atau egalitarianisme kemanusiaan ini, merupakan misi profetik yang membebaskan dari segala bentuk diskriminasi sosial. Dalam masyarakat Arab ketika itu, terjadi diskriminasi antara kelas sosial kaya (the have) dan kelas sosial miskin (the have not), budak dan Tuan, ‘azami dan non-‘azami, serta diskriminasi gender antara laki-laki dan perempuan. Praktek diskriminatif tersebut, melahirkan berbagai bentuk ketimpangan sosial dan penindasan atau exploitation of man by human beings. Dengan demikian, misi kemanusiaan dari kenabian Muhammad Saw. dalam wahyu pertamanya itu adalah pembebasan dari segala bentuk diskriminasi dan penindasan sosial dalam rangka menegakkan cita-cita sosial yang egalitarian dan berkeadilan.

Sementara misi ketiga dari kenabian Muhammad Saw. berdasarkan surat al-Alaq di atas adalah mewujudkan masyarakat yang berperadaban (mission civilisatrice). Misi peradaban ini, ditunjukkan dalam teks al-ladzi ‘alama bi al-qalam ‘alama al-insâna mâ lam ya’lam (Yang mengajar (manusia) melalui perantaraan qalam. Mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya). Ayat ini secara eksplisit menunjuk pada fungsi qalam yang signifikan bagi penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Qalam sebagaimana dikemukakan oleh sejumlah pakar tafsir kontemporer adalah segala macam alat tulis-baca, termasuk teknologi-teknologi canggih untuk memperoleh pengetahuan. Jika qalam merupakan simbol ilmu pengetahuan (sains) dan ilmu pengetahuan merupakan simbol peradaban, maka qalam adalah simbol peradaban.

Menurut Osman Bakar, salah satu tantangan terbesar abad ke-21 yang akan dihadapi oleh dunia muslim adalah imperialisme ekonomi dalam suatu bentuk tertentu dari adidaya ekonomi dunia. Semua bentuk imperialisme yang dipaksakan oleh kekuatan asing, disadari atau tidak telah banyak menimbulkan implikasi buruk terhadap kehidupan religius dan spiritual, politik dan ekonomi, budaya dan sosial umat Islam. Respons yang paling memungkinkan terhadap tantangan imperialisme ekonomi untuk masa depan dunia muslim ini adalah dengan mencapai dependensi (kemandirian) ekonomi dan keswasembadaan, setidaknya dalam wilayah-wilayah yang dipandang vital atau strategis. Respons ini, hanya mungkin dilakukan jika semua kebutuhan serta perangkat perkembangan dan kemajuan ekonomi dapat dikuasai. Salah satu perangkat tersebut adalah penguasaan ilmu pengetahuan (sains) dan kecakapan teknologi.[3] Karena itu, masa depan dunia muslim harus berpegang teguh (commited) pada gagasan menumbuhkan kesadaran peradaban, yakni penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan penegakkan makârim al-akhlaq beserta kaidah-kaidah peradabannya.

Tentunya, sebagaimana telah dikemukakan bahwa mengemban risalah atau misi ketuhanan, kemanusiaan dan peradaban ini, diperlukan suatu persiapan yang mumpuni (ajeg jeng masagi). Dan persiapan yang mumpuni itu hanya dapat dicapai melalui membaca secara reflektif-kontemplatif. Dengan demikian, membaca (perintah iqra’) adalah kunci pertama yang harus dilakukan oleh Nabi dan kaum muslimin dalam mewujudkan serta mengaktualisasikan misi profetik ketuhanan, kemanusiaan dan peradaban.

Pemikiran penting dalam surat al-‘Alaq ini adalah berkait dengan perintah membaca atau menggali ilmu pengetahuan (iqra’) yang dihubungkan dengan keimanan atau ketauhidan (bismi rabbik). Jika Isma’il Raji al-Faruqi menyebut bahwa inti atau esensi peradaban Islam itu tauhid,[4] sementara Franz Rosenthal menyebut bahwa tidak ada satu pun konsep yang secara operatif berperan menentukan dalam pembentukan peradaban Islam di segala aspeknya selain konsep ilmu,[5] maka dapat dikatakan bahwa tauhid dan keilmuan merupakan semangat kembar yang dibawa Al-Quran sejak semula. Semangat tauhid dan keilmuan itulah yang terkandung dalam formulasi wahyu pertama iqra bismi rabbik (bacalah atas nama Tuhan-mu) dan iqra wa rabuk al-akram, alladzi ‘allama bi al-qalam (bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam).

Formulasi iqra bismi rabbik dan iqra wa rabuk al-akram, alladzi ‘allama bi al-qalam di atas, juga mengisyaratkan bahwa semangat keilmuan atau semangat menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan merupakan suatu ikhtiar suci yang berkait langsung dengan aspek religiusitas ketuhanan. Kesuksesan dalam aspek religius seharusnya memanifestasikan kesuksesan dalam keilmuan. Sebaliknya, kesuksesan dalam keilmuan seharusnya memanifestasikan kesuksesan dalam aspek religius dan moralitas. Karena itu, tujuan akhir dari pencarian dan pengembangan keilmuan dalam Islam adalah pencerahan spiritualitas melalui sikap ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan. Surat al-‘Alaq di atas diakhiri dengan perintah bersujud dan mendekat (wa ‘sjud wa ‘qtarib) sebagai manifestasi ketundukkan dan kepasrahan kepada Allah.. Kesadaran ketuhanan (tauhid) dan tujuan pencerahan spiritualitas inilah yang menjadi falsafah dasar pencarian dan pengembangan keilmuan dalam Islam. Falsafah dasar keilmuan ini berpijak pada keyakinan akan segala ketergantungan kepada rahman dan rahim-Nya. Karenanya, segala cita, sikap, pikir dan prilaku keilmuan seharusnya menjadi bagian dari pengabdian seorang hamba kepada Tuhan. Sehingga semangat pencarian, penelitian, penemuan teori dan pengembangan serta pengalihan atau transfer ilmu, sains, teknologi dan seni harus menjadi sarana yang tidak bebas nilai dan harus diorientasikan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam, seluruh bangsa dan umat manusia.

Dengan demikian, antara awal dengan tujuan akhir dalam pencarian dan pengembangan ilmu pengetahuan terjadi kesejalanan. Yaitu, awalnya iqra bismi rabbik serta iqra wa rabuk al-akram, al-ladzi ‘allama bi al-qalam (pencarian, penemuan, pengembangan dan transfer ilmu atas nama Tuhan) dan tujuan akhirnya wa ‘sjud wa ‘qtarib serta rahmatan li al-‘âlamîn (pencerahan spiritualitas dan kesejahteraan seluruh alam). Oleh karena itu, tidak seharusnya kegiatan pencarian, penelitian, penemuan teori dan pengembangan serta pengalihan atau transfer ilmu, sains, teknologi dan seni tersebut melahirkan keangkuhan intelektual (intellectual arogance) apalagi menimbulkan kemungkaran, menjauh dari dzikir kepada Allah serta pengrusakan alam dan lingkungan. Suatu mentalitas keilmuan yang disebut oleh Al-Quran surat al-‘Alaq di atas sebagai mentalitas la yathghâ dan arra’âhu ‘staghnâ (melampaui batas dan merasa diri serba berkecukupan). Kata yathghâ terambil dari kata thaghâ yang makna asalnya berarti “meluapnya air sehingga mencapai tingkat kritis dan membahayakan”. Pemaknaan ini berkembang sehingga digunakan dalam arti yang lebih umum, yaitu segala sesuatu yang melampaui batas seperti kekufuran, pelanggaran, kesewenang-wenangan terhadap manusia (M. Quraish Shihab, 2002: 403).[6] Sedang kata istaghnâ terambil dari akar kata ghaniya yang makna harfiahnya berarti “berpikiran bahwa dirinya sendiri merdeka”.[7]

Apabila melakukan refleksi mendalam terhadap wahyu pertama (surat al-‘Alaq) di atas, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa Al-Quran tampaknya sangat faham terhadap psikologi keilmuan manusia. Surat al-‘Alaq di atas menggambarkan bahwa penguasaan keilmuan, teknologi dan kekayaan cenderung melahirkan sikap keangkuhan, merasa diri merdeka dan serba kecukupan sehingga tidak segan melakukan kekufuran, pelanggaran dan kesewenang-wenangan terhadap alam dan masyarakat. Oleh karena itu, sejak awal Al-Quran mengingatkan agar kegiatan pencarian, penelitian, penemuan teori dan pengembangan serta pengalihan atau transfer ilmu, sains, teknologi dan seni selalu dimulai dengan atas nama Tuhan (iqra bismi rabbik) dan diorientasikan bagi pencerahan spiritualitas (wa ‘ajud wa ‘qtarib) dan kesejahteraan alam (rahmatan li al-‘alamîn).

Namun tampaknya yang terjadi dalam dunia pendidikan kita, tak terkecuali yang berlabelkan Islam, selalu menampilkan dua wajah mentalitas keilmuan dan tujuan akhir. Meski awalnya sama yang dibaca itu adalah iqra bismi rabbik serta iqra wa rabuk al-akram, al-ladzi ‘allama bi al-qalam, namun mentalitas keilmuan yang lahir, di satu pihak ada mentalitas wa ‘sjud wa ‘qtarib sehingga melahirkan masyarakat pendidikan (education society) yang tercerahkan dan memberikan rahmat bagi kesejahteraan masyarakat, dipihak lain, tidak sedikit mentalitas yang lahir adalah mentalitas keilmuan la yathghâ dan arra’âhu ‘staghnâ sehingga menimbulkan kemungkaran, menjauh dari dzikir kepada Allah serta pengrusakan terhadap alam dan lingkungan, termasuk pengrusakan tatanan moralitas sosial. Itulah sebabnya, tidak heran kalau yang lahir dari mentalitas keimuan terakhir ini adalah paktek korupsi, dehumanisasi dan komersialisasi pendidikan, yang justru menjauhkan dunia pendidikan dari dimensi sosial, moral dan spiritual.

Dengan demikian, sudah seharusnya kita menata dan memikirkan kembali dunia pendidikan kita agar sejalan dengan falsafah dasar keilmuan semula, yakni terpadukannya antara kesadaran ketuhanan (tauhid), keilmuan dan moralitas. Sehingga yang lahir bukan mentalitas la yathghâ dan arra’âhu ‘staghnâ (keangkuhan dan kemungkaran intelektual), melainkan mentalitas wa ‘sjud wa ‘qtarib dan rahmatan li al-‘âlamîn, yakni kearifan spiritualitas yang tercerahkan dan kesejahteraan bagi semesta alam serta terjaganya tata lingkungan dan tatanan moral sosial kita. Wallahu a’lam



[1] Umi yang dimaksudkan adalah tidak pernah membaca suatu kitab sebelum turunnya Al-Quran.

وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلَا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا لَارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ

Artinya: “Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Qur'an) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andai kata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari (mu)”. (QS. al-Ankabut [29]: 48).

[2] Berkaitan dengan banyaknya aksi-aksi yang mengatasnamakan Tuhan, di sini perlu dijelaskan bahwa atas nama Tuhan tidak berarti bertentangan dengan atau bahkan merusak kaidah-kaidah kemanusiaan dan tatanan peradaban. Tetapi sebaliknya, atas nama Tuhan harus berkonsekwensi pada tegaknya tatanan kemanusiaan dan peradaban. Atas nama Tuhan yang melanggar kaidah-kaidah kemanusiaan dan merusak tatanan peradaban adalah atas nama Tuhan yang semu.

[3] Osman Bakar, Tauhid dan Sains, Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, terj.Yuliani Liputo, (bandung: Pustaka Hidayah, 1995), hal. 255-256.

[4] Isma’il Raji al-Faruqi, dan Louis Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, terj. Hasan Iyas, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 112; Isma’il Raji al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1988), hal. 16.

[5] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Quran, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 529.

[6] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. XV, hal. 403.

[7] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Pengantar Semantik terhadap Al-Quran, ter. Agus Fahri Husein dkk, (Yogyakarta: Tiara wacana, 1997), hal. 95.