Kamis, 03 Juni 2010

SAINTIFIKASI AL-QURAN: KE ARAH PERUMUSAN TEORI SOSIAL QUR’ANI

Al-Quran sebagai realitas wahyu Ilahi, tidak cukup diterima kebenaran statemennya hanya pada dataran iman atau level moral saja, tetapi harus dipahami sebagai kebenaran filosofis sekaligus teoritis. Sebab penerimaan kebenaran statemen Al-Quran dalam batas keimanan, hanya akan merefleksikan sentimen keagamaan dan sakralitas pemikiran keagamaan (taqdîs afkâr al-dînî) yang ekslusif, tertutup, tidak menerima pengurangan dan perubahan (ghay qâbil li al-nuqâsh wa taghyîr) karena sifatnya yang taken for granted (diterima apa adanya). Sementara penerimaan kebenaran statemen Al-Quran pada tingkat atau level moral saja, hanya akan melahirkan sikap “praksisisme”, yakni hanya memberikan kerangka moral, tanpa dapat mempertimbangkan implikasi moral tersebut bagi suatu perubahan sosial yang lebih jauh. Dengan kata lain, penerimaan kebenaran statemen Al-Quran pada tingkat atau level moral tidak akan memberikan kemampuan explanation (menerangkan) dan kemampuan meramalkan (prediction) terhadap perubahan-perubahan kemasa-depanan.

Dalam konteks ini, penerimaan kebenaran statemen Al-Quran pada tingkat filosofis dan teoritis akan membantu memberikan pemahaman (understanding), penerangan (explanation) dan kemampuan meramalkan (prediction), sehingga kebenaran statemen Al-Quran selalu teruji (terverifikasi) tingkat relevansinya dengan perkembangan, perubahan dan tuntutan cara pandang masyarakat (epistemé sosial) tertentu. Karena evaluasi terhadap pengujian (verifikasi) kebenaran filosofis dan teoritis Al-Quran, akan melahirkan penemuan teori-teori (body of knowledge) baru yang siap merespons dan menjelaskan fenomena-fenomena sosial yang berkembang. Tidak hanya merespons dan menjelaskan, tetapi juga memberikan arah terhadap transformasinya. Dengan demikian, sesuai fungsi eksistensialnya, Al-Quran tidak berhenti pada kerangka hudan li al-nâs (petunjuk bagi manusia) sebagai pedoman moral (fungsi etis), tetapi juga memberikan kerangka bayyinât min al-hudâ dan al-furqân (fungsi hermeneutik dan trasformatif).

Penerimaan realitas wahyu Ilahi (Al-Quran) sebagai kebenaran iman-moral dan filosofis-teoritis ini akan dimungkinkan jika pendekatan terhadap interpretasi statemen Al-Quran dilakukan secara sintesis antara pendekatan doktriner-filosofis dengan pendekatan scientific method atau dalam terma Mukti Ali sebagai pendekatan scientific cum doctrinaire. Pendekatan scientific method terhadap interpretasi statemen Al-Quran inilah yang dimaksudkan dengan saintifikasi Al-Quran. Saintifikasi Al-Quran merupakan upaya memahami pesan universal doktrin Al-Quran melalui kerangka disiplin ilmu-ilmu atau dalam bahasa filsafat ilmu, menggali petunjuk wahyu Ilahi berdasarkan kerangka ontologi, epistemologi dan aksiologi. Melalui saintifikasi Al-Quran atau pemahaman ajaran Al-Quran berdasar kerangka disiplin ilmu-ilmu, akan dimungkinkan Al-Quran mampu menjadi sistem penjelas atas kenyataan sosial dan melakukan transformasi sosial dengan bahasa obyektif, disamping dapat melakukan reorientasi terhadap epistemologi yaitu reorientasi terhadap mode of thought dan mode of inquiry bahwa sumber ilmu pengetahuan tidak hanya dari rasio dan empirik, tetapi juga wahyu.

Signifikansi Saintifikasi Al-Quran
Saintifikasi Al-Quran merupakan bentuk pengembangan dari tafsir bi al-ilmy. Dalam sejarah penafsiran Al-Quran, respons terhadap upaya saintifikasi Al-Quran (tafsir ilmy) ini banyak mengalami benturan dan ketegangan antara kelompok yang pro dan yang kontra. Tokoh yang paling commited mendukung gagasan saintifikasi Al-Quran adalah al-Ghazali terutama yang ditulis dalam karyanya Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn dan Jawâhir al-Qur’ân. Kemudian Fakhruddin al-Razi dalam kitabnya Mafâtih al-Ghayb), Tanthawi Jauhari dalam kitabnya al-Jawâhir al-Qur’ân) dan M. Rasyid Ridha dalam kitab al-Manâr-nya. Mereka mengakui bahwa Al-Quran mengandung statemen-statemen ilmiah. Oleh karena itu, bagi Arkoun untuk memahami kandungan Al-Quran tersebut diperlukan ilmu-ilmu bantu atau pemanfaatan penemuan-penemuan (metodologi) modern terutama ilmu bahasa dan humaniora.

Terhadap gagasan saintifikasi Al-Quran ini, juga tidak sedikit yang melontarkan kritik karena dianggap hanya menjustifikasi atau meligitimasi penemuan-penemuan ilmu baru atau kebenaran ilmiah yang sifatnya relatif dengan Al-Quran yang sifatnya absolut. Upaya ini dipandang berbahaya karena akan mereduksi kewibawaan absolutisme kebenaran Al-Quran. Di samping itu, pendekatan sains atau kerangka teori-teori keilmuan yang mereka anggap profan dalam penafsiran Al-Quran, akan menundukkan Al-Quran yang suci (sakral) di bawah kerangka teori-teori ilmu yang profan, dan karenanya akan mereduksi kewibawaan kesucian (sakralitas) Al-Quran. al-Syatibi adalah diantara tokoh yang banyak melontarkan kritik terhadap upaya saintifikasi Al-Quran ini, menyatakan bahwa Al-Quran tidak diturunkan untuk maksud tersebut (saintifik). Dia mengklaim bahwa orang yang tidak membatasi ilmu-ilmu bantu dalam menafsirkan Al-Quran, maka ia akan keliru dan tersesat.

Tulisan ini tidak bermaksud akan membahas panjang lebar mengenai ketegangan di atas, sebab menurut hemat penulis, ketegangan tersebut hanya menjadi wacana dan perdebatan teologis yang “a historis”. Kecenderungan ini di dasarkan pada kenyataan bahwa sepanjang sejarah penafsiran Al-Quran hingga sekarang, meskipun upaya saintifikasi Al-Quran terus dilakukan, namun Al-Quran tetap tidak tertundukkan di bawah kerangka teori-teori sains dan tetap terjaga wibawa kesucian (sakralitas)nya. Oleh karena itu, yang terpenting adalah menemukan signifikansi sosiologis dan kulturalnya disamping tentu saja dengan tidak mengabaikan signifikansi teologisnya.
Signifikansi saintifikasi Al-Quran tetap mengacu kepada signifikansi penafsiran pesan universal Al-Quran secara umum, yakni bahwa saintifikasi Al-Quran merupakan kebutuhan intelektual-religius dan sejarah yang memiliki signifikansi teologis dalam menempatkan Islam shâlih lu kulli zamân wa makân (relevan dengan segala waktu dan tempat) dan signifikansi sosiologis dalam menggerakkan Islam menjadi kekuatan sosial, ekonomi, politik, dan budaya bahkan menjadi kekuatan peradaban serta menjadi idiologi modern yang hidup.

Signifikansi ini berkait erat dengan proses dialektika dalam masyarakat, yaitu proses internalisasi, eksternalisasi dan obyektivasi. Pada tahap internalisasi, mungkin ajaran-ajaran Al-Quran cukup dipahami pada tingkat iman dan moral (dogmatik dan normatif). Tetapi mesti diingat bahwa internalisasi sendiri berkait erat dengan tiga segi yang merupakan proses kelanjutannya, yaitu proses sosialisasi, enkulturasi dan personalisasi. Ketiga proses kelanjutan inilah yang harus ditempuh dalam proses eksternalisasi dan obyektivasi. Belajar dari pengalaman sejarah, tampaknya proses eksternalisasi dan obyektivasi Al-Quran akan dirasakan sulit jika pemahaman ajaran Al-Quran hanya berhenti pada tingkat iman dan moral (dogmatik dan normatif) saja. Oleh karena itu, saintifikasi Al-Quran atau pemahaman ajaran Al-Quran dengan menggunakan pendekatan scientific method, akan membantu memecahkan persoalan di atas. Hal ini disadari karena sebagaimana telah dikemukakan bahwa saintifikasi Al-Quran memberikan peluang bagi perumusan teori-teori Qur’ani. Teori-teori Qur’ani inilah yang akan dipersiapkan sebagai perangkat analisis dalam melakukan eksternalisasi dan obyektivasi nilai-nilai Qur’ani, sekaligus merespons perkembangan, perubahan dan tuntutan cara pandang masyarakat yang aktual. Dengan demikian, kebenaran statemen Al-Quran akan selalu teruji tingkat relevansinya, karena evaluasi yang terus-menerus terhadap penerapan teori-teori Qur’ani tersebut akan melahirkan teori-teori (body of knowledge) baru yang sesuai dengan formulasi sosial baru yang berevolusi bersamaan dengan gerak zaman.

Saintifikasi Al-Quran akan lebih memberikan signifikan lagi jika melakukan telaah internal terhadap Al-Quran itu sendiri. Ada beberapa alasan kenapa saintifikasi Al-Quran (pendekatan scientific method) tersebut menjadi signifikan. Pertama, Al-Quran sebagai respons Ilahi terhadap setting sosio-moral Arab yang ditujukan untuk merespons sosio-moral alam universal (sebagai rahmatan li al-‘alamin), menuntut penelusuran terhadap konteks historis ketika Al-Quran diturunkan (konteks nuzul) dan konteks historis ketika Al-Quran hendak diterapkan (konteks tathbiq).
Al-Quran hadir dalam situasi kesejarahan yang kongkrit dan syarat dengan nuansa budaya. Menurut Fazlur Rahman, situasi kesejarahan tersebut sangat mempengaruhi respons, komentar, solusi dan pernyataan-pernyataan Al-Quran. Bahkan menurut Izutsu dan Kuntowijoyo, sebagian pernyataan-pernyataan Al-Quran kemungkinan diangkat dari konsep-konsep (doktrin, etik, aturan legal) yang telah dikenal oleh masyarakat Arab ketika Al-Quran diturunkan yang kemudian diintegrasikan ke dalam pandangan dunia (welltanschauung) Al-Quran sehingga menjadi konsep-konsep yang otentik. Dengan demikian, pemahaman terhadap konteks kesejarahan pada saat Al-Quran diturunkan (konteks nuzul) sangatlah penting. Kazuo Simogaki ketika menganalisis pemikiran Hassan Hanafi mengemukakan bahwa teks hanyalah merupakan satu bentuk kristalisasi linguistik dari realitas. Karenanya, pemahaman terhadap situasi kesejarahan yang melatarbelakanginya, merupakan suatu keharusan untuk dapat mengungkap makna teks yang sebenarnya. Tanpa memahami konteks kesejarahan tersebut, upaya untuk memahami pesan Al-Quran secara komprehensif akan merupakan sebuah pekerjaan yang sia-sia. Itulah sebabnya, dalam wacana dan diskursus keislaman (tafsir) konsep asbâb al-nuzûl (sebab-sebab pewahyuan) merupakan unsur penting dalam memahami Al-Quran secara komprehensif. Al-Wahidi misalnya, mengingatkan ketidakmungkinan mengetahui tafsir suatu ayat, tanpa memahami konteks kesejarahan dan penjelasan sebab nuzulnya. Demikian pula Ibnu Daqiq al-‘Id dan Ibnu Taimiyah, mengemukakan bahwa keterangan sebab nuzul merupakan cara tepat dalam memahami Al-Quran.

Dalam keyakinan Islam, Al-Quran tidak hanya merupakan respons atau komentar terhadap setting sosio-moral Arab saja, tetapi Al-Quran juga merupakan respons atau komentar terhadap sosio-moral sejarah kemanusiaan secara universal. Keyakinan tersebut menghendaki penelusuran dan pemahaman terhadap fakta-fakta dan data sosial yang relevan atau situasi kesejarahan ketika Al-Quran hendak diterapkan (konteks tathbiq).

Memahami betapa pentingnya pengetahuan terhadap konteks kesejarahan dalam mengungkap makna dan pesan Al-Quran, Rahman dalam suatu upaya rekonstruksi metodologi sistematisnya menawarkan metode sosio-historis yang dikenal dengan gerakan ganda (doble movement)nya: dari situasi sekarang, ke masa Al-Quran diturunkan dan kembali lagi ke masa kini. Metode ini, dimulai dengan memahami Al-Quran, menggali dan mensistematiskan prinsip-prinsip umum, nilai-niai dan tujuan-tujuan jangka panjangnya. Kemudian langkah selanjutnya dari pandangan umum ini, ke pandangan spesifik yang harus diformulasikan dan direalisasikan sekarang. Dengan kata lain, prinsip nilai Al-Quran yang umum, harus ditindakkan dalam konteks sosio-historis yang kongkrit dewasa ini.

Secara singkat, pemahaman terhadap pesan universal Al-Quran selalu melibatkan pengetahuan mengenai konteks kesejarahan baik konteks nuzûl maupun konteks tathbiq. Keterlibatan pemahaman terhadap konteks historis tersebut, jelas memerlukan suatu perangkat analisis atau metodologi yang tepat. Maka dalam konteks ini, pendekatan scientific method atau saintifikasi Al-Quran terutama dengan memanfaatkan temuan metodologi pengetahuan modern (sosiologi, antropologi, psikologi dan sejarah) sangat diperlukan.

Kedua, bahwa sebagian teks Al-Quran memasuki wilayah kajian empiris dan historis sehingga kebenaran statemennya terbuka untuk dibuktikan (diverifikasi) dan dihadapkan pada metodologi keilmuan.

Kuntowijoyo, melalui pendekatan sintetik analitiknya mengklasifikasikan konsep-konsep Al-Quran kepada dua kategori yaitu, pertama, konsep-konsep yang bersifat abstrak dan tidak dapat diamati seperti konsep tentang Tuhan, malaikat, akhirat, hari kiamat, setan, surga dan neraka. Kedua, konsep-konsep yang merujuk pada fenomena-fenomena kongkrit yang dapat diamati (observable) seperti konsep tentang fuqara (orang-orang fakir), dhu’afa (golongan lemah), mustadh’afin (kelas tertindas), zhâlimûn (para tiran), agniyâ’ (orang kaya), mustakbirûn (penguasa), mufsidûn (koruftor-koruftor kekuasaan) dan sebagainya. Selain konsep-konsep observable di atas, Al-Quran juga banyak berbicara tentang konsep-konsep kemasyarakatan atau antropo-sosiologis. Al-Quran misalnya berbicara tentang konsep ummah, (sosialization), kultur atau kebudayaan, tentang perubahan sosial (sosial change), kelas sosial (social stratification) dan banyak lagi konsep-konsep yang lainnya.

Berdasarkan kategori konsep Al-Quran di atas, maka dapat dipahami bahwa konsep-konsep Al-Quran yang observable, memasuki wilayah empiris dan historis sehingga terbuka untuk diverifikasi dan dihadapkan pada metodologi keilmuan. Dengan demikian, memahami konsep-konsep Al-Quran yang observable terutama yang memberikan isyarat-isyarat ilmiah atau berupa hipotesis-hipotesis, diperlukan pandekatan scientific method atau saintifikasi Al-Quran.

Ketiga, Al-Quran memberikan kemungkinan arti yang tidak terbatas (mengandung pluralitas makna) sehingga ayat-ayatnya terbuka untuk interpretasi baru, tidak pernah tertutup dalam interpretasi tunggal. Hal ini menghendaki suatu pendekatan yang multidisiplin, antar dan interdisiplin untuk mengungkapkan kompleksitas makna yang dikehendaki oleh Al-Quran. Dalam konteks ini, sekali lagi temuan ilmu modern (terutama ilmu sosial) dapat dimanfaatkan karena sebagaimana telah diketahui bahwa ilmu sosial memiliki pendekatan yang multidisiplin.
Dengan demikian, signifikansi saintifikasi Al-Quran yang lebih banyak memberikan analisis empiris dengan scientific methodnya, selain dapat menjelaskan secara komprehensif terhadap konteks kesejarahan Al-Quran dan menjelaskan konsep-konsep antropo-sosiologis Al-Quran yang bersifat observable, juga akan memberikan peluang bagi berbagai kemungkinan pemaknaan Al-Quran, sehingga lebih mendekati terhadap pemahaman yang dikehendaki oleh Al-Quran sendiri.

Ke Arah Perumusan Teori Sosial Qur’ani
Saintifikasi Al-Quran atau pendekatan scientific method, jika dipertemukan dengan kajian teks Al-Quran, maka persoalan atau grand thema yang dihadapi adalah menghadirkan teks Al-Quran di tengah masyarakat, lalu dipahami, diterjemahkan, ditafsirkan dan didialogkan dalam rangka menafsirkan dan memahami realitas sosial. Perspektif ini mengajukan permasalahan dasar bagaimana Al-Quran merumuskan, mengenali, memecahkan dan menjelaskan fenomena kehidupan sosial. Dengan kata lain bagaimana fenomena kehidupan sosial tersebut dapat dijelaskan melalui sinaran Al-Quran. Dalam konteks ini, Al-Quran dapat dilihat sebagai sistem penjelas atas kenyataan sosial atau meminjam istilah Kuntowijoyo sebagai paradigma Al-Quran, yaitu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan memahami realitas sebagaimana Al-Quran memahaminya.

Pemikiran yang penting tentang Al-Quran sebagai paradigma atau sistem penjelas atas realitas ini adalah bahwa Al-Quran sebagai premis-premis normatif dapat dirumuskan (diturunkan) menjadi teori-teori empiris dan rasional. Sebab proses semacam ini pula yang ditempuh dalam pengembangan ilmu-ilmu modern sekarang ini, yakni berakar dari faham-faham etik dan filosofis yang bersifat normatif. Dari ide-ide normatif, perumusan ilmu-ilmu dibentuk sampai pada tingkat yang empiris dan sering dipakai sebagai basis untuk kebijakan-kebijakan aktual. Dan pengamatan empiris tentang realitas sosial yang didasarkan pada petunjuk Al-Quran, jika telah menghasilkan pengetahuan yang sistematis tentang gejala-gejala regularitas serta pernyataan-pernyataan yang konsisten, akan menghasilkan suatu sistem pengetahuan yang positif atau teori-teori sosial tertentu yang dapat saja disebut “teori sosial Qur’ani”, “teori sosial Islam” atau “ilmu sosial profetik” sebagaimana orang dengan asumsi dasar yang lain bisa menyebutnya teori sosial liberal atau Marxis.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa saintifikasi Al-Quran memberikan peluang bagi perumusan teori sosial Qur’ani atau menyusun body of knowledge yang didasarkan pada premis-premis normatif Al-Quran. Dari pemaparan di atas juga, perumusan teori sosial Qur’ani dapat dilakukan melalui langkah-langkah metodis sebagai berikut:

Paradigma Qur’ani -- Aksiologi Qur’ani -- Teologi/Filsafat Sosial Qur’ani -- Epistemologi Qur’ani

Pertama, menjadikan Al-Quran sebagai paradigma untuk menjelaskan asumsi-asumsi Qur’ani mengenai gambaran hakikat manusia dan masyarakat. Teori sosial Qur’ani, seperti teori ilmiah lainnya harus berlandaskan pada suatu dasar asumsi atau paradigma yang kuat. Asumsi-asumsi atau paradigma ini bukan merupakan bagian teori dalam arti sempit, tetapi lebih diidentifikasi sebagai meta-teori yang sangat menentukan cara kerja teori yang dikembangkan. Suatu asumsi dalam sebuah teori sangatlah penting, karena selain menentukan karakteristik teori sosialnya, pernyataan asumtif juga akan memberi arah dan landasan bagi setiap aktivitas analisis. Dengan kata lain, suatu pengetahuan, baru dianggap benar selama asumsi-asumsinya dianggap benar. Oleh karena itu, sebagai langkah pertama dari perumusan teori sosial Qur’ani ini, diperlukan pengetahuan tentang asumsi-asumsi Qur’ani yang paling mendasar tentang gambaran hakikat manusia dan masyarakat.

Dalam tulisan ini, kiranya tidak mungkin asumsi-asumsi Qur’ani di atas dapat dijelaskan secara tuntas mengingat keterbatasan dalam pembahasannya. Kesulitan ini juga didasarkan pada keterbukaan Al-Quran yang interpretable, tidak tetutup dalam interpretasi tunggal. Karenanya, memungkinkan adanya pluralitas pemahaman atau interpretasi terhadap asumsi-asumsi Qur’ani mengenai gambaran hakikat manusia dan masyarakat yang tidak dapat digabungkan dengan mudah dalam suatu asumsi tunggal. Adalah tugas kita untuk meramu dan menemukan asumsi-asumsi Qur’ani yang sesuai dengan elan profetis universal Al-Quran atau menemukan apa yang disebut Max Weber sebagai tipe ideal.

Kedua, memahami Al-Quran dalam kerangka aksiologi untuk menemukan kerangka moral, etis dan prinsip-prinsip nilai Qur’ani. Aksiologi adalah filsafat tentang nilai. Pokok persoalannya adalah sifat dasar nilai, macam-macam nilai, ukuran nilai, dan kedudukan metafisis dari nilai. Memahami Al-Quran dalam kerangka aksiologis artinya menggali petunjuk Al-Quran untuk menemukan pandangan-pandangan moral dan etisnya. Prinsip-prinsip nilai, moral dan etis ini harus dirumuskan secara sistematis hingga merefleksikan sistem etika Qur’ani.

Etika Qur’ani ini penting selain untuk membangkitkan kesadaran moral dalam menerima norma agama, juga untuk memikirkan dan menganalisis perbuatan yang akan dilakukan.
Ketiga, merumuskan kerangkan etis atau prinsip nilai Qur’ani tersebut menjadi teologi atau filsafat sosial untuk mengungkapkan filosofi sosialnya.
Pemahaman Al-Quran dalam kerangka aksiologis ini tidak hanya menemukan prinsip-prinsip nilai, moral dan etis, tetapi juga akan menemukan wisdom-wisdom (hikmah) yang berdimemsi sosial (social ethic)nya. Dalam kajian Al-Quran (Qur’anic Studies), banyak dikemukakan bahwa statemen Al-Quran baik dalam bentuk konsep-konsep, amtsal-amtsal (analogical) maupun sejarah, mengandung wisdom-wisdom atau hikmah tertentu yang harus digali dalam rangka menemukan refleksi filosofis etis individual dan etis-sosialnya. Filososfi sosial Qur’ani ini harus dirumuskan sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan menggerakkan kesadaran moral publik. Etika Qur’ani sebagai proposisi etis harus ditransformasikan menjadi proposisi-proposisi hukum dan diinterpretasikan dalam paradigma aktual untuk mengatur semua pranata sosial. Dalam konteks ini, prinsip nilai dasariah yang bersifat etis harus dibedakan dengan penjabaran nilai etis tersebut ke dalam berbagai tujuan yang bersifat operasional. Dengan cara kerja intelektual seperti ini, maka filosofi-filosofi sosial Qur’ani akan sangat mudah diungkapkan.

Keempat, (terakhir), memahami Al-Quran dalam kerangka epistemologis untuk menurunkan sistem etika atau prinsip nilai Qur’ani dan filosofi sosialnya di atas menjadi teori-teori atau body of knowledge empiris dan rasional. Langkah keempat ini adalah menurunkan premis-premis normatif Al-Quran menjadi teori-teori yang empiris dan rasional dengan memanfaatkan pendekatan scientific method. Di sini, langkah-langkah teoritis yang biasa digunakan oleh ilmu sosial (komponen-komponen informasi dan kontrol metodologis) dapat diterapkan dalam perumusan teori sosial Qur’ani yaitu dengan menempuh empat langkah metodis sebagai berikut :

Observasi -- Generalisasi Empiris -- Teori -- Hipotesa

1. Observasi
Selama ini, penafsiran terhadap konsep Al-Quran hanya sampai pada formulasi hipotesa atau meminjam istilah kuntowijoyo hanya sampai pada tingkat normatif saja, dan belum diturunkan pada tingkat empirisnya. Sehingga tidak heran jika doktrin-doktrin Al-Quran masih berada pada tingkat abstraksi murni yang kurang menyentuh dunia empiris. Melalui bantuan metode ilmiah atau scientific method (dalam hal ini metode ilmu sosial), maka kecenderungan tersebut dapat disiasati melalui observasi pada tingkat empiris dengan mempelajari situasi atau gejala sosial yang terjadi baik pada masa lampau ketika Al-Quran turun, maupun pada situasi atau gejala sosial sekarang. Bagaimana misalnya melakukan penelitian empiris terhadap konsep “ummatan wasatha” pada situasi sosial ketika Al-Quran diturunkan, dan situasi sosial kontemporer.
Dalam literatur metodologi, observasi memilki dua pengertian. Pertama, cara mengumpulkan data dengan pengamatan; dan kedua, informasi atau data yang dikumpulkan dalam penelitian. Dalam pengertian pertama, observasi merupakan cara kerja dalam mengumpulkan data, sementara observasi dalam pengertian kedua merupakan kumpulan data yang kemudian memerlukan metode pengolahan data.

Dengan demikian, kedua-duanya sama-sama memerlukan cara atau metode observasi. Bagimana suatu masyarakat dapat menjelaskan konsep ummatan wasatha, qaum atau millah. Namun untuk menghindari kesulitan metodis, M. Dawam Rahardjo memberikan pendekatan alternatif, yaitu pendekatan fenomenologis, riset aksi dan grounded research. Pendekatan fenomenologis memberikan pemahaman gejala secara langsung tanpa terbebani oleh nilai-nilai asumtif yang telah menciptakan bias pada sikap; pendekatan riset aksi, secara langsung melakukan aksi lapangan (amal shaleh) dengan berpedoman pada kerangka etis. Dari pengalaman aksi ini dapat dibangun teori-teori baru yang lebih realistik dan membumi. Sementara pendekatan graunded research akan terhindar dari kungkungan teori-teori yang telah mapan.

Dari ketiga pendekatan ini diharapkan dapat dikonstruksi suatu body of knowledge yang merupakan substansi dari apa yang nanti mungkin dapat disebut sebagai teori sosial (ummatiyah) Qur’ani yang operasional. Data yang sangat banyak dan telah berbentuk angka-angka sebagai hasil observasi, kemudian disederhanakan agar dapat membuat kesimpulan-kesimpulan dari observasi tersebut. Dalam proses ini, statistik sering digunakan, karena salah satu fungsi statistik adalah menyederhanakan data. Dan karena statistik merupakan data tentang sampel, maka perlu diadakan perkiraan tentang ketepatan statistik bagi populasi. Proses perbandingan tentang informasi sampel dan informasi tentang populasi ini disebut perkiraan parameter. Dengan demikian, pengukuran, penyederhanaan dan perkiraan parameter akan merupakan kontrol metodologis dalam melakukan observasi.

2. Generalisasi Empiris
Atas dasar data-data yang telah diseder-hanakan tersebut, kemudian membuat generalisasi empiris atau kesimpulan-kesimpulan umum yang didasarkan atas fakta-fakta empiris tentang sampel penelitiannya. Bagaimana sebenarnya konsep tentang ummatan wasatha, fuqara, dhu’afa dan sebagainya.
Dalam penelitian verifikatif atau penelitian untuk menguji teori, akan mencoba menghasilkan informasi ilmiah baru yakni status hipotesa yang berupa kesimpulan apakah hipotesa dapat diterima atau ditolak. Informasi ini diperoleh melalui pengujian hipotesa. Berdasarkan status hipotesa inilah dibuat inferensi logika untuk menyimpulkan apakah teori yang digunakannya mendapatkan dukungan empiris atau tidak. Apakah teorisasi penafsiran konsep ummatan wasatha tersebut sesuai dengan realitas atau tidak. Bila hipotesa terbukti, berarti teori mendapat dukungan empiris dan karenanya kedudukan teori (hasil penafsiran konsep Al-Quran) tersebut menjadi semakin kuat; dan jika tidak—dan meyakini kebenaran metode penelitiannya, maka teori (penafsiran konsep Al-Quran ) perlu dimodifikasi.

3. Analisis Teori
Teori didefinisikan sebagai seperangkat proposisi yang dinyatakan secara sistematis dan saling berhubungan secara logis serta didasarkan pada fakta empiris. Komponen-komponen teori terdiri atas konsep; sistem klasifikasi dan proposisi. Konsep merupakan bahan mentah teori yang paling mendasar. Karya teoritis pada tingkatan konseptual meliputi definisi, analisa konseptual dan pernyataan yang menegaskan adannya gejala empiris yang ditunjuk oleh suatu konsep. Pada tingkatan klasifikasi karya teoritis mencakup pembentukan kategori dan klasifikasi gejala-gejala empiris; dan pada tingkatan proposisi dirumuskan pernyataan yang menghubungkan dua atau lebih proposisi.

Dengan melakukan analogi terhadap komponen teori dan karya teoritisnya, maka kita akan dapat melakukan penafsiran Al-Quran dengan melakukan teorisasi Al-Quran, yakni melakukan analisa konseptual (mendefinisikan, merumuskan pernyataan tentang sebuah gejala sosial) dalam Al-Quran, kemudian melakukan kategorisasi dan klasifikasi mengenai gejala-gejala tersebut untuk selanjutnya menyusun proposisi Al-Quran tentang gejala tersebut dengan menghubungkan beberapa konsep Al-Quran.
Sekedar memberikan gambaran sederhana mengenai teorisasi Al-Quran ini, dapat dikemukakan beberapa catatan sebagai berikut:

a. Analisa konseptual
Pada tahap ini, konsep-konsep Al-Quran didefinisikan secara jelas, sehingga memberikan gambaran yang jelas tentang suatu gejala. Misalnya konsep tentang “ummatan wahida atau ummatan wasatha” yang menurut Abduh dan M. Dawam Rahardjo tidak akan dapat dipahami kecuali dengan memahami sejarah dan sosiologi serta melakukan penelitian empiris, konsep “fuqara, dhu’afa, mustad’afin, mufsidun, aghniya dan sebagainya. Syarat dalam analisa konseptual ini, sebagaimana telah dijelaskan adalah bahwa pertama, konsep itu harus analitik (penyimpulannya dilakukan secukupnya sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperkirakan karakteristik suatu keutuhan yang kongkrit); kedua, konsep itu harus peka (dapat memberikan gambaran yang bermakna).
Analisa konseptual dalam penafsiran Al-Quran ini penting, karena akan menghubungkan dunia teori (tingkat abstraksi) dengan dunia observasi.

b. Klasifikasi
Setelah mendapat gambaran dari suatu gejala dari konsep Al-Quran tersebut, kemudian melakukan kategorisasi dan klasifikasi misalnya konsep Al-Quran tentang masyarakat yang menggunakan istilah (gejala) ummah, ummatan wasatha, ummatan wahida, qaum, millah, syu’ub, qabilah dan sebagainya. Klasifikasi dan kategorisasi konsep Al-Quran ini penting untuk memahami keutuhan gambaran gejala Al-Quran dan akibat hukumnya.

c. Perumusan Proposisi
Setelah melakukan kategorisasi dan klasifikasi dari konsep-konsep Al-Quran tersebut, kemudian gambaran pernyataannya dihubungkan (diintegrasikan) satu sama lainnya hingga membentuk suatu bangunan teori Al-Quran tentang “ummatan wasatha”, tentang fuqara, dhu’afa dan konsep-konsep lainnya.

4. Merumuskan Hipotesa
Hipotesa adalah instrumen kerja dari teori yang penting dan tidak dapat ditinggalkan. Hipotesa biasanya merupakan deduksi logika dari teori atau proposisi yang sifatnya lebih spesifik, sehingga lebih siap untuk diuji secara empiris. Misalnya hendak menjelaskan kenapa pada konteks tertentu Al-Quran menggunakan konsep ummah atau qaum dan pada konteks yang lainnya menggunakan konsep millah. Untuk hal ini, maka diperlukan teori pengkutuban atau social organization.

Hipotesa memberikan informasi tentang variabel-variabel penelitian dan hubungannya. Untuk informasi yang cocok dengan variabel-variabel tadi, maka serangkaian kontrol metodologis harus dilakukan; yaitu, pertama, melakukan interpretasi terhadap konsep yang dipakai dalam penelitian (konstruknya) serta variabel yang dirumuskan dari konsep tersebut; kedua, menyusun instrumen, skala dan penentuan sampel. Hipotesa inilah yang akan menentukan bagaimana cara melakukan observasi.

Epilog : Suatu Kesimpulan
Dari pemaparan yang panjang lebar di atas, dapat diambil bebarapa kesimpulan di bawah ini :

1. Saintifikasi Al-Quran adalah merupakan upaya memahami pesan universal doktrin Al-Quran melalui kerangka disiplin ilmu-ilmu atau dalam bahasa filsafat ilmu, menggali petunjuk wahyu Ilahi berdasarkan kerangka ontologi, epistemologi dan aksiologi.

2. Signifikansi dari saintifikasi Al-Quran ini, tetap mengacu kepada signifikansi penafsiran pesan universal Al-Quran secara umum yakni bahwa saintifikasi Al-Quran merupakan kebutuhan intelektual-religius dan sejarah yang memiliki signifikansi teologis dalam menempatkan Islam shâlih li kulli zamân wa makân dan signifikansi sosiologis dalam menggerakkan Islam menjadi kekuatan sosial, ekonomi, politik, dan budaya bahkan menjadi kekuatan peradaban serta menjadi idiologi modern yang hidup.

3. Saintifikasi Al-Quran akan lebih memberikan signifikan lagi jika dilakukan telaah internal terhadap Al-Quran sendiri. Ada beberapa alasan kenapa saintifikasi Al-Quran tersebut menjadi signifikan. Pertama, Al-Quran sebagai respons Ilahi terhadap setting sosio-moral Arab yang ditujukan untuk merespons sosio-moral alam universal (sebagai rahmatan li al-‘alamin), menuntut penelusuran terhadap konteks historis ketika Al-Quran diturunkan (konteks nuzul) dan konteks historis ketika Al-Quran hendak diterapkan (konteks tathbiq). Kedua, bahwa sebagian teks Al-Quran memasuki wilayah kajian empiris dan historis sehingga kebenaran statemennya terbuka untuk dibuktikan (diverifikasi) dan dihadapkan pada metodologi keilmuan. Ketiga, Al-Quran memberikan kemungkinan arti yang tidak terbatas (mengandung pluralitas makna) sehingga ayat-ayatnya terbuka untuk interpretasi baru, tidak pernah tertutup dalam interpretasi tunggal.

4. Berdasarkan pemaparan di atas juga, dapat disimpulkan bahwa saintifikasi Al-Quran memberikan peluang bagi perumusan teori sosial Qur’ani atau menyusun body of knowledge yang didasarkan pada premis-premis normatif Al-Quran. Perumusan teori sosial Qur’ani tersebut dapat dilakukan melalui langkah-langkah metodis: (a) Menjadikan Al-Quran sebagai paradigma untuk menjelaskan asumsi-asumsi Qur’ani mengenai gambaran hakikat manusia dan masyarakat; (b) Memahami Al-Quran dalam kerangka aksiologi untuk menemukan kerangka moral, etis dan prinsip-prinsip nilai Qur’ani; (c) merumuskan kerangkan etis atau prinsip nilai Qur’ani tersebut menjadi teologi atau filsafat sosial untuk mengungkapkan filosofi sosialnya dan (d) memahami Al-Quran dalam kerangka epistemologis untuk menurunkan sistem etika atau prinsip nilai Qur’ani dan filosofi sosialnya di atas menjadi teori-teori atau body of knowledge empiris dan rasional.

5. Langkah keempat ini adalah menurunkan premis-premis normatif Al-Quran menjadi teori-teori yang empiris dan rasional dengan memanfaatkan pendekatan scientific method. Di sini, langkah-langkah teoritis yang biasa digunakan oleh ilmu sosial (komponen-komponen informasi dan kontrol metodologis) dapat diterapkan dalam perumusan teori sosial Qur’ani yaitu dengan menempuh empat langkah metodis : (a) Observasi ; (b) Generalisasi Empiris; (c) Teori dan (d) Hipotesa. Wallahu a’lam.

Senin, 29 Maret 2010

Iqra'

BACALAH…

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS. Al-‘Alaq [96]: 1-5).

Bacalah (Iqra`)! Itulah misi profetik pertama dari kerasulan Muhammad Saw. Suatu misi yang agak membingungkan bagi seorang “ummi[1] seperti Nabi Muhammad Saw. Membaca apa (mâ aqra’)? Sungguh aku tidak mengerti harus membaca apa. Aku ini bukan seorang pembaca (mâ anâ bi qâri’). Demikian, Nabi mengekspresikan kebingungannya dalam menerima misi pertama ini. Kata iqra’ terambil dari kata qara`a yang asalnya berarti al-jam’u (menghimpun). Dalam bahasa keilmuan, kata menghimpun mengandung arti melakukan pembacaan, pendalaman, penelaahan dan penelitian, hingga menemukan ciri-ciri spesifik pada apa yang dibaca. Menunjuk pada pengertian ini, maka perintah iqra` tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis atau suatu pernyataan yang terdengar. Karena itu, perintah membaca dalam teks wahyu pertama ini, tidak sekedar membaca teks tertulis seperti yag lazim dikesani dalam istilah membaca, tetapi lebih dari itu adalah perintah membaca realitas. Hal itu, juga didasarkan pada kaidah bahwa suatu kata dalam susunan redaksi yang tidak disebutkan obyeknya—seperti perintah iqra` di atas, tidak disebutkan obyek yang harus dibacanya—maka obyek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut. Berdasarkan teks Iqra` ini, nabi diperintahkan untuk memahami teks serta realitas budaya yang terjadi agar lebih siap dalam mengemban misi profetik selanjutnya. Dengan membaca secara reflektif-kontemplatif, seorang akan mampu menangkap cahaya kebenaran, dan dengan cahaya kebenaran ini, seseorang akan memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan.

Bacalah atas nama Tuhanmu yang telah menciptakan, yaitu telah menciptakan manusia dari ‘alaq”. Penggalan ayat ini menunjukkan cara pembacaan yang harus didasarkan atas nama Tuhan sebagai manifestasi terima kasih atas kemurahan dan kedermawanan-Nya. Sebab, Tuhanlah yang telah menciptakan manusia dari ‘alaq, dan atas kemurahan Tuhan pula manusia bisa membaca. Hal itu, ditunjukan secara jelas pada penggalan ayat berikutnya: “Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) melalui perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. Karena itu, sangatlah wajar apabila membaca itu harus atas nama Tuhan Yang Pemurah. Kata akram dalam teks wa rabbuka al-akram, mengandung arti dermawan atau bangsawan. Asal katanya dari karama yang berarti memberi yang selayaknya, tampa mengharap balasan (a’tha mâ yanbaghi bi lâ ghardhin). Sedangkan al-qalam dapat dipahami sebagai segala macam alat untuk memperoleh pengetahuan, termasuk pena, mesin tulis, komputer, dan alat riset canggih lainnya.

Secara umum, wahyu pertama ini mengandung tiga misi kerasulan Muhammad Saw., yaitu misi ketuhanan (rububiyah), misi kemanusiaan (insaniyah) dan misi peradaban (al-‘ilm). Misi pertama (ketuhanan) adalah misi utama kenabian Muhammad Saw. yang di arahkan bagi upaya rekonstruksi sistem keyakinan yang menyimpang, yaitu dari keyakinan “berhalaisme” kepada keyakinan Tuhan sejati (monoteis). Misi ketuhanan ini menjadi utama dan penting karena penyimpangan dalam sistem keyakinan berdampak luas pada dimensi kemanusiaan dan peradaban. Dalam dimensi kemanusiaan, faham keyakinan berhalaisme ini melahirkan praktek diskriminasi, ketidakadilan dan ketidakpedulian sosial. Sementara dalam dimensi peradaban, faham keyakinan “berhalaisme” ini menciptakan masyarakat barbar (tidak beradab), di mana uang menjadi orientasi kekuasaan dan kekerasan menjadi satu-satunya hakim atas semua nilai, serta kecurangan dan tipu daya menjadi seni kehidupan. Oleh karena itu, sejalan dengan misi ketuhanan, misi kedua dari kerasulan Muhammad Saw. adalah misi kemanusiaan yang diarahkan bagi penegakkan tata sosial yang egalitarian dan berkeadilan. Sementara misi ketiga (peradaban) diarahkan pada perwujudan masyarakat modern yang berkemajuan, berlandaskan moral (makârim al-akhlâq), aturan-aturan, norma-norma dan kaidah-kaidah peradaban.

Misi pertama (ketuhanan) disebutkan dalam teks wahyu pertama dengan mengintrodusir pernyataan bismi rabbik al-ladzi khalaq dan ungkapan wa rabbuka al-akram. Kedua pernyataan ini diintrodusir untuk menegaskan ketuhanan sejati sebagai kritik atas keyakinan ketuhanan yang menyimpang dalam tradisi masyarakat Arab. Yaitu, keyakinan terhadap ketuhanan Lata dan Uza yang biasa mereka sebut dalam segala bentuk ritual keagamaan dan aktivitas kehidupan. Wahyu pertama di atas, merupakan pembebasan dari keyakinan ketuhanan semu tersebut dengan menegaskan orientasi baru terhadap ketuhanan sejati, yaitu Tuhan pencipta dan pemelihara kehidupan. Istilah rabb tidak hanya berarti ketuhanan pasif, yakni sekedar pencipta, melainkan mengandung arti ketuhanan dinamis, yakni sebagai pencipta sekaligus pemelihara dan pengatur kehidupan. Dalam surat al-A’la disebutkan bahwa Tuhan (rabb) yang diperkenalkan Muhammad Saw. adalah Tuhan yang menciptakan (khalaq), menyempurnakan ciptaan-Nya (fa sawwâ), memberikan ukuran—menetapkan konstitusi-konstitusi dan potensialitas-potensialitasnya—(qadara), serta memberikan petunjuk atau pedoman dalam pergerakannya (fa hadâ).

Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk (QS. al-A’la [87]: 1-3).

Dengan demikian, secara ringkas dapat dijelaskan bahwa pernyataan bismi rabbika al-ladzi khalaq (atas nama Tuhan Yang Menciptakan) merupakan misi transendensi kehidupan, yakni bahwa segala aktivitas kehidupan harus diorientasikan semata-mata sebagai pengabdian kepada Tuhan sejati. Makna ini juga yang terkandung dalam ungkapan basmallâh, yaitu bahwa seluruh aktivitas hidup harus dimulai dengan atas nama Allah, dilakukan dengan sebaik-baiknya hanya sebagai pengabdian kepada Allah (lillâhi ta’âla), dan hasilnya didedikasikan kepada Allah.[2] Inilah, misi pertama kenabian Muhammad, Saw. yang harus menjadi nilai atau etos dalam segala aktivitas kerja, keluarga, masyarakat, organisasi, bisnis (ekonomi), politik (penyelenggaraan kekuasaan), pengelolaan pendidikan, penegakkan hukum, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kesehatan dan lingkungan hidup serta pengembangan seni-kebudayaan.

Misi kedua dari kenabian Muhammad Saw., yakni misi kemanusiaan ditunjukkan dalam ayat ketiga surat al-Alaq yang berbunyi: khalaq al-insâna min ‘alaq (Yang telah menciptakan manusia dari ‘alaq). Kata ‘alaq—bentuk jamak dari ‘alaqah—mengandung arti plural, yakni di antaranya berarti segumpal darah yang beku (al-dam al-jâmid). ‘Alaq dalam pengertian segumpal darah yang beku ini hampir dijumpai dalam seluruh kitab tafsir klasik, termasuk Al-Quran terjemahan Departemen Agama. ‘Alaq juga diartikan sebagai “sesuatu yang berdempet dan bergantung”, serta diartikan “sejenis cacing” (lintah). Hingga kini, pengertian ‘alaq ini masih debatable dan kontroversial, apalagi dengan penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang genetika dan embriologi. Karena itu, terlepas dari kontroversi pengertian ‘alaq tersebut, yang terpenting adalah mengungkap makna dan pesan profetiknya.

Berkaitan dengan misi kemanusiaan di atas, teks ayat ketiga dari wahyu pertama ini, menjelaskan bahwa seluruh manusia diciptakan dari asal yang sama, yakni ‘alaqah. Oleh karena itu, semua manusia adalah sama dan setara (equality) dihadapan Tuhan, tidak ada yang inferior atau superior. Gagasan kesetaraan atau egalitarianisme kemanusiaan ini, merupakan misi profetik yang membebaskan dari segala bentuk diskriminasi sosial. Dalam masyarakat Arab ketika itu, terjadi diskriminasi antara kelas sosial kaya (the have) dan kelas sosial miskin (the have not), budak dan Tuan, ‘azami dan non-‘azami, serta diskriminasi gender antara laki-laki dan perempuan. Praktek diskriminatif tersebut, melahirkan berbagai bentuk ketimpangan sosial dan penindasan atau exploitation of man by human beings. Dengan demikian, misi kemanusiaan dari kenabian Muhammad Saw. dalam wahyu pertamanya itu adalah pembebasan dari segala bentuk diskriminasi dan penindasan sosial dalam rangka menegakkan cita-cita sosial yang egalitarian dan berkeadilan.

Sementara misi ketiga dari kenabian Muhammad Saw. berdasarkan surat al-Alaq di atas adalah mewujudkan masyarakat yang berperadaban (mission civilisatrice). Misi peradaban ini, ditunjukkan dalam teks al-ladzi ‘alama bi al-qalam ‘alama al-insâna mâ lam ya’lam (Yang mengajar (manusia) melalui perantaraan qalam. Mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya). Ayat ini secara eksplisit menunjuk pada fungsi qalam yang signifikan bagi penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Qalam sebagaimana dikemukakan oleh sejumlah pakar tafsir kontemporer adalah segala macam alat tulis-baca, termasuk teknologi-teknologi canggih untuk memperoleh pengetahuan. Jika qalam merupakan simbol ilmu pengetahuan (sains) dan ilmu pengetahuan merupakan simbol peradaban, maka qalam adalah simbol peradaban.

Menurut Osman Bakar, salah satu tantangan terbesar abad ke-21 yang akan dihadapi oleh dunia muslim adalah imperialisme ekonomi dalam suatu bentuk tertentu dari adidaya ekonomi dunia. Semua bentuk imperialisme yang dipaksakan oleh kekuatan asing, disadari atau tidak telah banyak menimbulkan implikasi buruk terhadap kehidupan religius dan spiritual, politik dan ekonomi, budaya dan sosial umat Islam. Respons yang paling memungkinkan terhadap tantangan imperialisme ekonomi untuk masa depan dunia muslim ini adalah dengan mencapai dependensi (kemandirian) ekonomi dan keswasembadaan, setidaknya dalam wilayah-wilayah yang dipandang vital atau strategis. Respons ini, hanya mungkin dilakukan jika semua kebutuhan serta perangkat perkembangan dan kemajuan ekonomi dapat dikuasai. Salah satu perangkat tersebut adalah penguasaan ilmu pengetahuan (sains) dan kecakapan teknologi.[3] Karena itu, masa depan dunia muslim harus berpegang teguh (commited) pada gagasan menumbuhkan kesadaran peradaban, yakni penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan penegakkan makârim al-akhlaq beserta kaidah-kaidah peradabannya.

Tentunya, sebagaimana telah dikemukakan bahwa mengemban risalah atau misi ketuhanan, kemanusiaan dan peradaban ini, diperlukan suatu persiapan yang mumpuni (ajeg jeng masagi). Dan persiapan yang mumpuni itu hanya dapat dicapai melalui membaca secara reflektif-kontemplatif. Dengan demikian, membaca (perintah iqra’) adalah kunci pertama yang harus dilakukan oleh Nabi dan kaum muslimin dalam mewujudkan serta mengaktualisasikan misi profetik ketuhanan, kemanusiaan dan peradaban.

Pemikiran penting dalam surat al-‘Alaq ini adalah berkait dengan perintah membaca atau menggali ilmu pengetahuan (iqra’) yang dihubungkan dengan keimanan atau ketauhidan (bismi rabbik). Jika Isma’il Raji al-Faruqi menyebut bahwa inti atau esensi peradaban Islam itu tauhid,[4] sementara Franz Rosenthal menyebut bahwa tidak ada satu pun konsep yang secara operatif berperan menentukan dalam pembentukan peradaban Islam di segala aspeknya selain konsep ilmu,[5] maka dapat dikatakan bahwa tauhid dan keilmuan merupakan semangat kembar yang dibawa Al-Quran sejak semula. Semangat tauhid dan keilmuan itulah yang terkandung dalam formulasi wahyu pertama iqra bismi rabbik (bacalah atas nama Tuhan-mu) dan iqra wa rabuk al-akram, alladzi ‘allama bi al-qalam (bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam).

Formulasi iqra bismi rabbik dan iqra wa rabuk al-akram, alladzi ‘allama bi al-qalam di atas, juga mengisyaratkan bahwa semangat keilmuan atau semangat menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan merupakan suatu ikhtiar suci yang berkait langsung dengan aspek religiusitas ketuhanan. Kesuksesan dalam aspek religius seharusnya memanifestasikan kesuksesan dalam keilmuan. Sebaliknya, kesuksesan dalam keilmuan seharusnya memanifestasikan kesuksesan dalam aspek religius dan moralitas. Karena itu, tujuan akhir dari pencarian dan pengembangan keilmuan dalam Islam adalah pencerahan spiritualitas melalui sikap ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan. Surat al-‘Alaq di atas diakhiri dengan perintah bersujud dan mendekat (wa ‘sjud wa ‘qtarib) sebagai manifestasi ketundukkan dan kepasrahan kepada Allah.. Kesadaran ketuhanan (tauhid) dan tujuan pencerahan spiritualitas inilah yang menjadi falsafah dasar pencarian dan pengembangan keilmuan dalam Islam. Falsafah dasar keilmuan ini berpijak pada keyakinan akan segala ketergantungan kepada rahman dan rahim-Nya. Karenanya, segala cita, sikap, pikir dan prilaku keilmuan seharusnya menjadi bagian dari pengabdian seorang hamba kepada Tuhan. Sehingga semangat pencarian, penelitian, penemuan teori dan pengembangan serta pengalihan atau transfer ilmu, sains, teknologi dan seni harus menjadi sarana yang tidak bebas nilai dan harus diorientasikan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam, seluruh bangsa dan umat manusia.

Dengan demikian, antara awal dengan tujuan akhir dalam pencarian dan pengembangan ilmu pengetahuan terjadi kesejalanan. Yaitu, awalnya iqra bismi rabbik serta iqra wa rabuk al-akram, al-ladzi ‘allama bi al-qalam (pencarian, penemuan, pengembangan dan transfer ilmu atas nama Tuhan) dan tujuan akhirnya wa ‘sjud wa ‘qtarib serta rahmatan li al-‘âlamîn (pencerahan spiritualitas dan kesejahteraan seluruh alam). Oleh karena itu, tidak seharusnya kegiatan pencarian, penelitian, penemuan teori dan pengembangan serta pengalihan atau transfer ilmu, sains, teknologi dan seni tersebut melahirkan keangkuhan intelektual (intellectual arogance) apalagi menimbulkan kemungkaran, menjauh dari dzikir kepada Allah serta pengrusakan alam dan lingkungan. Suatu mentalitas keilmuan yang disebut oleh Al-Quran surat al-‘Alaq di atas sebagai mentalitas la yathghâ dan arra’âhu ‘staghnâ (melampaui batas dan merasa diri serba berkecukupan). Kata yathghâ terambil dari kata thaghâ yang makna asalnya berarti “meluapnya air sehingga mencapai tingkat kritis dan membahayakan”. Pemaknaan ini berkembang sehingga digunakan dalam arti yang lebih umum, yaitu segala sesuatu yang melampaui batas seperti kekufuran, pelanggaran, kesewenang-wenangan terhadap manusia (M. Quraish Shihab, 2002: 403).[6] Sedang kata istaghnâ terambil dari akar kata ghaniya yang makna harfiahnya berarti “berpikiran bahwa dirinya sendiri merdeka”.[7]

Apabila melakukan refleksi mendalam terhadap wahyu pertama (surat al-‘Alaq) di atas, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa Al-Quran tampaknya sangat faham terhadap psikologi keilmuan manusia. Surat al-‘Alaq di atas menggambarkan bahwa penguasaan keilmuan, teknologi dan kekayaan cenderung melahirkan sikap keangkuhan, merasa diri merdeka dan serba kecukupan sehingga tidak segan melakukan kekufuran, pelanggaran dan kesewenang-wenangan terhadap alam dan masyarakat. Oleh karena itu, sejak awal Al-Quran mengingatkan agar kegiatan pencarian, penelitian, penemuan teori dan pengembangan serta pengalihan atau transfer ilmu, sains, teknologi dan seni selalu dimulai dengan atas nama Tuhan (iqra bismi rabbik) dan diorientasikan bagi pencerahan spiritualitas (wa ‘ajud wa ‘qtarib) dan kesejahteraan alam (rahmatan li al-‘alamîn).

Namun tampaknya yang terjadi dalam dunia pendidikan kita, tak terkecuali yang berlabelkan Islam, selalu menampilkan dua wajah mentalitas keilmuan dan tujuan akhir. Meski awalnya sama yang dibaca itu adalah iqra bismi rabbik serta iqra wa rabuk al-akram, al-ladzi ‘allama bi al-qalam, namun mentalitas keilmuan yang lahir, di satu pihak ada mentalitas wa ‘sjud wa ‘qtarib sehingga melahirkan masyarakat pendidikan (education society) yang tercerahkan dan memberikan rahmat bagi kesejahteraan masyarakat, dipihak lain, tidak sedikit mentalitas yang lahir adalah mentalitas keilmuan la yathghâ dan arra’âhu ‘staghnâ sehingga menimbulkan kemungkaran, menjauh dari dzikir kepada Allah serta pengrusakan terhadap alam dan lingkungan, termasuk pengrusakan tatanan moralitas sosial. Itulah sebabnya, tidak heran kalau yang lahir dari mentalitas keimuan terakhir ini adalah paktek korupsi, dehumanisasi dan komersialisasi pendidikan, yang justru menjauhkan dunia pendidikan dari dimensi sosial, moral dan spiritual.

Dengan demikian, sudah seharusnya kita menata dan memikirkan kembali dunia pendidikan kita agar sejalan dengan falsafah dasar keilmuan semula, yakni terpadukannya antara kesadaran ketuhanan (tauhid), keilmuan dan moralitas. Sehingga yang lahir bukan mentalitas la yathghâ dan arra’âhu ‘staghnâ (keangkuhan dan kemungkaran intelektual), melainkan mentalitas wa ‘sjud wa ‘qtarib dan rahmatan li al-‘âlamîn, yakni kearifan spiritualitas yang tercerahkan dan kesejahteraan bagi semesta alam serta terjaganya tata lingkungan dan tatanan moral sosial kita. Wallahu a’lam



[1] Umi yang dimaksudkan adalah tidak pernah membaca suatu kitab sebelum turunnya Al-Quran.

وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلَا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا لَارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ

Artinya: “Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Qur'an) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andai kata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari (mu)”. (QS. al-Ankabut [29]: 48).

[2] Berkaitan dengan banyaknya aksi-aksi yang mengatasnamakan Tuhan, di sini perlu dijelaskan bahwa atas nama Tuhan tidak berarti bertentangan dengan atau bahkan merusak kaidah-kaidah kemanusiaan dan tatanan peradaban. Tetapi sebaliknya, atas nama Tuhan harus berkonsekwensi pada tegaknya tatanan kemanusiaan dan peradaban. Atas nama Tuhan yang melanggar kaidah-kaidah kemanusiaan dan merusak tatanan peradaban adalah atas nama Tuhan yang semu.

[3] Osman Bakar, Tauhid dan Sains, Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, terj.Yuliani Liputo, (bandung: Pustaka Hidayah, 1995), hal. 255-256.

[4] Isma’il Raji al-Faruqi, dan Louis Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, terj. Hasan Iyas, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 112; Isma’il Raji al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1988), hal. 16.

[5] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Quran, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 529.

[6] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. XV, hal. 403.

[7] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Pengantar Semantik terhadap Al-Quran, ter. Agus Fahri Husein dkk, (Yogyakarta: Tiara wacana, 1997), hal. 95.