Kamis, 03 Juni 2010

SAINTIFIKASI AL-QURAN: KE ARAH PERUMUSAN TEORI SOSIAL QUR’ANI

Al-Quran sebagai realitas wahyu Ilahi, tidak cukup diterima kebenaran statemennya hanya pada dataran iman atau level moral saja, tetapi harus dipahami sebagai kebenaran filosofis sekaligus teoritis. Sebab penerimaan kebenaran statemen Al-Quran dalam batas keimanan, hanya akan merefleksikan sentimen keagamaan dan sakralitas pemikiran keagamaan (taqdîs afkâr al-dînî) yang ekslusif, tertutup, tidak menerima pengurangan dan perubahan (ghay qâbil li al-nuqâsh wa taghyîr) karena sifatnya yang taken for granted (diterima apa adanya). Sementara penerimaan kebenaran statemen Al-Quran pada tingkat atau level moral saja, hanya akan melahirkan sikap “praksisisme”, yakni hanya memberikan kerangka moral, tanpa dapat mempertimbangkan implikasi moral tersebut bagi suatu perubahan sosial yang lebih jauh. Dengan kata lain, penerimaan kebenaran statemen Al-Quran pada tingkat atau level moral tidak akan memberikan kemampuan explanation (menerangkan) dan kemampuan meramalkan (prediction) terhadap perubahan-perubahan kemasa-depanan.

Dalam konteks ini, penerimaan kebenaran statemen Al-Quran pada tingkat filosofis dan teoritis akan membantu memberikan pemahaman (understanding), penerangan (explanation) dan kemampuan meramalkan (prediction), sehingga kebenaran statemen Al-Quran selalu teruji (terverifikasi) tingkat relevansinya dengan perkembangan, perubahan dan tuntutan cara pandang masyarakat (epistemé sosial) tertentu. Karena evaluasi terhadap pengujian (verifikasi) kebenaran filosofis dan teoritis Al-Quran, akan melahirkan penemuan teori-teori (body of knowledge) baru yang siap merespons dan menjelaskan fenomena-fenomena sosial yang berkembang. Tidak hanya merespons dan menjelaskan, tetapi juga memberikan arah terhadap transformasinya. Dengan demikian, sesuai fungsi eksistensialnya, Al-Quran tidak berhenti pada kerangka hudan li al-nâs (petunjuk bagi manusia) sebagai pedoman moral (fungsi etis), tetapi juga memberikan kerangka bayyinât min al-hudâ dan al-furqân (fungsi hermeneutik dan trasformatif).

Penerimaan realitas wahyu Ilahi (Al-Quran) sebagai kebenaran iman-moral dan filosofis-teoritis ini akan dimungkinkan jika pendekatan terhadap interpretasi statemen Al-Quran dilakukan secara sintesis antara pendekatan doktriner-filosofis dengan pendekatan scientific method atau dalam terma Mukti Ali sebagai pendekatan scientific cum doctrinaire. Pendekatan scientific method terhadap interpretasi statemen Al-Quran inilah yang dimaksudkan dengan saintifikasi Al-Quran. Saintifikasi Al-Quran merupakan upaya memahami pesan universal doktrin Al-Quran melalui kerangka disiplin ilmu-ilmu atau dalam bahasa filsafat ilmu, menggali petunjuk wahyu Ilahi berdasarkan kerangka ontologi, epistemologi dan aksiologi. Melalui saintifikasi Al-Quran atau pemahaman ajaran Al-Quran berdasar kerangka disiplin ilmu-ilmu, akan dimungkinkan Al-Quran mampu menjadi sistem penjelas atas kenyataan sosial dan melakukan transformasi sosial dengan bahasa obyektif, disamping dapat melakukan reorientasi terhadap epistemologi yaitu reorientasi terhadap mode of thought dan mode of inquiry bahwa sumber ilmu pengetahuan tidak hanya dari rasio dan empirik, tetapi juga wahyu.

Signifikansi Saintifikasi Al-Quran
Saintifikasi Al-Quran merupakan bentuk pengembangan dari tafsir bi al-ilmy. Dalam sejarah penafsiran Al-Quran, respons terhadap upaya saintifikasi Al-Quran (tafsir ilmy) ini banyak mengalami benturan dan ketegangan antara kelompok yang pro dan yang kontra. Tokoh yang paling commited mendukung gagasan saintifikasi Al-Quran adalah al-Ghazali terutama yang ditulis dalam karyanya Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn dan Jawâhir al-Qur’ân. Kemudian Fakhruddin al-Razi dalam kitabnya Mafâtih al-Ghayb), Tanthawi Jauhari dalam kitabnya al-Jawâhir al-Qur’ân) dan M. Rasyid Ridha dalam kitab al-Manâr-nya. Mereka mengakui bahwa Al-Quran mengandung statemen-statemen ilmiah. Oleh karena itu, bagi Arkoun untuk memahami kandungan Al-Quran tersebut diperlukan ilmu-ilmu bantu atau pemanfaatan penemuan-penemuan (metodologi) modern terutama ilmu bahasa dan humaniora.

Terhadap gagasan saintifikasi Al-Quran ini, juga tidak sedikit yang melontarkan kritik karena dianggap hanya menjustifikasi atau meligitimasi penemuan-penemuan ilmu baru atau kebenaran ilmiah yang sifatnya relatif dengan Al-Quran yang sifatnya absolut. Upaya ini dipandang berbahaya karena akan mereduksi kewibawaan absolutisme kebenaran Al-Quran. Di samping itu, pendekatan sains atau kerangka teori-teori keilmuan yang mereka anggap profan dalam penafsiran Al-Quran, akan menundukkan Al-Quran yang suci (sakral) di bawah kerangka teori-teori ilmu yang profan, dan karenanya akan mereduksi kewibawaan kesucian (sakralitas) Al-Quran. al-Syatibi adalah diantara tokoh yang banyak melontarkan kritik terhadap upaya saintifikasi Al-Quran ini, menyatakan bahwa Al-Quran tidak diturunkan untuk maksud tersebut (saintifik). Dia mengklaim bahwa orang yang tidak membatasi ilmu-ilmu bantu dalam menafsirkan Al-Quran, maka ia akan keliru dan tersesat.

Tulisan ini tidak bermaksud akan membahas panjang lebar mengenai ketegangan di atas, sebab menurut hemat penulis, ketegangan tersebut hanya menjadi wacana dan perdebatan teologis yang “a historis”. Kecenderungan ini di dasarkan pada kenyataan bahwa sepanjang sejarah penafsiran Al-Quran hingga sekarang, meskipun upaya saintifikasi Al-Quran terus dilakukan, namun Al-Quran tetap tidak tertundukkan di bawah kerangka teori-teori sains dan tetap terjaga wibawa kesucian (sakralitas)nya. Oleh karena itu, yang terpenting adalah menemukan signifikansi sosiologis dan kulturalnya disamping tentu saja dengan tidak mengabaikan signifikansi teologisnya.
Signifikansi saintifikasi Al-Quran tetap mengacu kepada signifikansi penafsiran pesan universal Al-Quran secara umum, yakni bahwa saintifikasi Al-Quran merupakan kebutuhan intelektual-religius dan sejarah yang memiliki signifikansi teologis dalam menempatkan Islam shâlih lu kulli zamân wa makân (relevan dengan segala waktu dan tempat) dan signifikansi sosiologis dalam menggerakkan Islam menjadi kekuatan sosial, ekonomi, politik, dan budaya bahkan menjadi kekuatan peradaban serta menjadi idiologi modern yang hidup.

Signifikansi ini berkait erat dengan proses dialektika dalam masyarakat, yaitu proses internalisasi, eksternalisasi dan obyektivasi. Pada tahap internalisasi, mungkin ajaran-ajaran Al-Quran cukup dipahami pada tingkat iman dan moral (dogmatik dan normatif). Tetapi mesti diingat bahwa internalisasi sendiri berkait erat dengan tiga segi yang merupakan proses kelanjutannya, yaitu proses sosialisasi, enkulturasi dan personalisasi. Ketiga proses kelanjutan inilah yang harus ditempuh dalam proses eksternalisasi dan obyektivasi. Belajar dari pengalaman sejarah, tampaknya proses eksternalisasi dan obyektivasi Al-Quran akan dirasakan sulit jika pemahaman ajaran Al-Quran hanya berhenti pada tingkat iman dan moral (dogmatik dan normatif) saja. Oleh karena itu, saintifikasi Al-Quran atau pemahaman ajaran Al-Quran dengan menggunakan pendekatan scientific method, akan membantu memecahkan persoalan di atas. Hal ini disadari karena sebagaimana telah dikemukakan bahwa saintifikasi Al-Quran memberikan peluang bagi perumusan teori-teori Qur’ani. Teori-teori Qur’ani inilah yang akan dipersiapkan sebagai perangkat analisis dalam melakukan eksternalisasi dan obyektivasi nilai-nilai Qur’ani, sekaligus merespons perkembangan, perubahan dan tuntutan cara pandang masyarakat yang aktual. Dengan demikian, kebenaran statemen Al-Quran akan selalu teruji tingkat relevansinya, karena evaluasi yang terus-menerus terhadap penerapan teori-teori Qur’ani tersebut akan melahirkan teori-teori (body of knowledge) baru yang sesuai dengan formulasi sosial baru yang berevolusi bersamaan dengan gerak zaman.

Saintifikasi Al-Quran akan lebih memberikan signifikan lagi jika melakukan telaah internal terhadap Al-Quran itu sendiri. Ada beberapa alasan kenapa saintifikasi Al-Quran (pendekatan scientific method) tersebut menjadi signifikan. Pertama, Al-Quran sebagai respons Ilahi terhadap setting sosio-moral Arab yang ditujukan untuk merespons sosio-moral alam universal (sebagai rahmatan li al-‘alamin), menuntut penelusuran terhadap konteks historis ketika Al-Quran diturunkan (konteks nuzul) dan konteks historis ketika Al-Quran hendak diterapkan (konteks tathbiq).
Al-Quran hadir dalam situasi kesejarahan yang kongkrit dan syarat dengan nuansa budaya. Menurut Fazlur Rahman, situasi kesejarahan tersebut sangat mempengaruhi respons, komentar, solusi dan pernyataan-pernyataan Al-Quran. Bahkan menurut Izutsu dan Kuntowijoyo, sebagian pernyataan-pernyataan Al-Quran kemungkinan diangkat dari konsep-konsep (doktrin, etik, aturan legal) yang telah dikenal oleh masyarakat Arab ketika Al-Quran diturunkan yang kemudian diintegrasikan ke dalam pandangan dunia (welltanschauung) Al-Quran sehingga menjadi konsep-konsep yang otentik. Dengan demikian, pemahaman terhadap konteks kesejarahan pada saat Al-Quran diturunkan (konteks nuzul) sangatlah penting. Kazuo Simogaki ketika menganalisis pemikiran Hassan Hanafi mengemukakan bahwa teks hanyalah merupakan satu bentuk kristalisasi linguistik dari realitas. Karenanya, pemahaman terhadap situasi kesejarahan yang melatarbelakanginya, merupakan suatu keharusan untuk dapat mengungkap makna teks yang sebenarnya. Tanpa memahami konteks kesejarahan tersebut, upaya untuk memahami pesan Al-Quran secara komprehensif akan merupakan sebuah pekerjaan yang sia-sia. Itulah sebabnya, dalam wacana dan diskursus keislaman (tafsir) konsep asbâb al-nuzûl (sebab-sebab pewahyuan) merupakan unsur penting dalam memahami Al-Quran secara komprehensif. Al-Wahidi misalnya, mengingatkan ketidakmungkinan mengetahui tafsir suatu ayat, tanpa memahami konteks kesejarahan dan penjelasan sebab nuzulnya. Demikian pula Ibnu Daqiq al-‘Id dan Ibnu Taimiyah, mengemukakan bahwa keterangan sebab nuzul merupakan cara tepat dalam memahami Al-Quran.

Dalam keyakinan Islam, Al-Quran tidak hanya merupakan respons atau komentar terhadap setting sosio-moral Arab saja, tetapi Al-Quran juga merupakan respons atau komentar terhadap sosio-moral sejarah kemanusiaan secara universal. Keyakinan tersebut menghendaki penelusuran dan pemahaman terhadap fakta-fakta dan data sosial yang relevan atau situasi kesejarahan ketika Al-Quran hendak diterapkan (konteks tathbiq).

Memahami betapa pentingnya pengetahuan terhadap konteks kesejarahan dalam mengungkap makna dan pesan Al-Quran, Rahman dalam suatu upaya rekonstruksi metodologi sistematisnya menawarkan metode sosio-historis yang dikenal dengan gerakan ganda (doble movement)nya: dari situasi sekarang, ke masa Al-Quran diturunkan dan kembali lagi ke masa kini. Metode ini, dimulai dengan memahami Al-Quran, menggali dan mensistematiskan prinsip-prinsip umum, nilai-niai dan tujuan-tujuan jangka panjangnya. Kemudian langkah selanjutnya dari pandangan umum ini, ke pandangan spesifik yang harus diformulasikan dan direalisasikan sekarang. Dengan kata lain, prinsip nilai Al-Quran yang umum, harus ditindakkan dalam konteks sosio-historis yang kongkrit dewasa ini.

Secara singkat, pemahaman terhadap pesan universal Al-Quran selalu melibatkan pengetahuan mengenai konteks kesejarahan baik konteks nuzûl maupun konteks tathbiq. Keterlibatan pemahaman terhadap konteks historis tersebut, jelas memerlukan suatu perangkat analisis atau metodologi yang tepat. Maka dalam konteks ini, pendekatan scientific method atau saintifikasi Al-Quran terutama dengan memanfaatkan temuan metodologi pengetahuan modern (sosiologi, antropologi, psikologi dan sejarah) sangat diperlukan.

Kedua, bahwa sebagian teks Al-Quran memasuki wilayah kajian empiris dan historis sehingga kebenaran statemennya terbuka untuk dibuktikan (diverifikasi) dan dihadapkan pada metodologi keilmuan.

Kuntowijoyo, melalui pendekatan sintetik analitiknya mengklasifikasikan konsep-konsep Al-Quran kepada dua kategori yaitu, pertama, konsep-konsep yang bersifat abstrak dan tidak dapat diamati seperti konsep tentang Tuhan, malaikat, akhirat, hari kiamat, setan, surga dan neraka. Kedua, konsep-konsep yang merujuk pada fenomena-fenomena kongkrit yang dapat diamati (observable) seperti konsep tentang fuqara (orang-orang fakir), dhu’afa (golongan lemah), mustadh’afin (kelas tertindas), zhâlimûn (para tiran), agniyâ’ (orang kaya), mustakbirûn (penguasa), mufsidûn (koruftor-koruftor kekuasaan) dan sebagainya. Selain konsep-konsep observable di atas, Al-Quran juga banyak berbicara tentang konsep-konsep kemasyarakatan atau antropo-sosiologis. Al-Quran misalnya berbicara tentang konsep ummah, (sosialization), kultur atau kebudayaan, tentang perubahan sosial (sosial change), kelas sosial (social stratification) dan banyak lagi konsep-konsep yang lainnya.

Berdasarkan kategori konsep Al-Quran di atas, maka dapat dipahami bahwa konsep-konsep Al-Quran yang observable, memasuki wilayah empiris dan historis sehingga terbuka untuk diverifikasi dan dihadapkan pada metodologi keilmuan. Dengan demikian, memahami konsep-konsep Al-Quran yang observable terutama yang memberikan isyarat-isyarat ilmiah atau berupa hipotesis-hipotesis, diperlukan pandekatan scientific method atau saintifikasi Al-Quran.

Ketiga, Al-Quran memberikan kemungkinan arti yang tidak terbatas (mengandung pluralitas makna) sehingga ayat-ayatnya terbuka untuk interpretasi baru, tidak pernah tertutup dalam interpretasi tunggal. Hal ini menghendaki suatu pendekatan yang multidisiplin, antar dan interdisiplin untuk mengungkapkan kompleksitas makna yang dikehendaki oleh Al-Quran. Dalam konteks ini, sekali lagi temuan ilmu modern (terutama ilmu sosial) dapat dimanfaatkan karena sebagaimana telah diketahui bahwa ilmu sosial memiliki pendekatan yang multidisiplin.
Dengan demikian, signifikansi saintifikasi Al-Quran yang lebih banyak memberikan analisis empiris dengan scientific methodnya, selain dapat menjelaskan secara komprehensif terhadap konteks kesejarahan Al-Quran dan menjelaskan konsep-konsep antropo-sosiologis Al-Quran yang bersifat observable, juga akan memberikan peluang bagi berbagai kemungkinan pemaknaan Al-Quran, sehingga lebih mendekati terhadap pemahaman yang dikehendaki oleh Al-Quran sendiri.

Ke Arah Perumusan Teori Sosial Qur’ani
Saintifikasi Al-Quran atau pendekatan scientific method, jika dipertemukan dengan kajian teks Al-Quran, maka persoalan atau grand thema yang dihadapi adalah menghadirkan teks Al-Quran di tengah masyarakat, lalu dipahami, diterjemahkan, ditafsirkan dan didialogkan dalam rangka menafsirkan dan memahami realitas sosial. Perspektif ini mengajukan permasalahan dasar bagaimana Al-Quran merumuskan, mengenali, memecahkan dan menjelaskan fenomena kehidupan sosial. Dengan kata lain bagaimana fenomena kehidupan sosial tersebut dapat dijelaskan melalui sinaran Al-Quran. Dalam konteks ini, Al-Quran dapat dilihat sebagai sistem penjelas atas kenyataan sosial atau meminjam istilah Kuntowijoyo sebagai paradigma Al-Quran, yaitu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan memahami realitas sebagaimana Al-Quran memahaminya.

Pemikiran yang penting tentang Al-Quran sebagai paradigma atau sistem penjelas atas realitas ini adalah bahwa Al-Quran sebagai premis-premis normatif dapat dirumuskan (diturunkan) menjadi teori-teori empiris dan rasional. Sebab proses semacam ini pula yang ditempuh dalam pengembangan ilmu-ilmu modern sekarang ini, yakni berakar dari faham-faham etik dan filosofis yang bersifat normatif. Dari ide-ide normatif, perumusan ilmu-ilmu dibentuk sampai pada tingkat yang empiris dan sering dipakai sebagai basis untuk kebijakan-kebijakan aktual. Dan pengamatan empiris tentang realitas sosial yang didasarkan pada petunjuk Al-Quran, jika telah menghasilkan pengetahuan yang sistematis tentang gejala-gejala regularitas serta pernyataan-pernyataan yang konsisten, akan menghasilkan suatu sistem pengetahuan yang positif atau teori-teori sosial tertentu yang dapat saja disebut “teori sosial Qur’ani”, “teori sosial Islam” atau “ilmu sosial profetik” sebagaimana orang dengan asumsi dasar yang lain bisa menyebutnya teori sosial liberal atau Marxis.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa saintifikasi Al-Quran memberikan peluang bagi perumusan teori sosial Qur’ani atau menyusun body of knowledge yang didasarkan pada premis-premis normatif Al-Quran. Dari pemaparan di atas juga, perumusan teori sosial Qur’ani dapat dilakukan melalui langkah-langkah metodis sebagai berikut:

Paradigma Qur’ani -- Aksiologi Qur’ani -- Teologi/Filsafat Sosial Qur’ani -- Epistemologi Qur’ani

Pertama, menjadikan Al-Quran sebagai paradigma untuk menjelaskan asumsi-asumsi Qur’ani mengenai gambaran hakikat manusia dan masyarakat. Teori sosial Qur’ani, seperti teori ilmiah lainnya harus berlandaskan pada suatu dasar asumsi atau paradigma yang kuat. Asumsi-asumsi atau paradigma ini bukan merupakan bagian teori dalam arti sempit, tetapi lebih diidentifikasi sebagai meta-teori yang sangat menentukan cara kerja teori yang dikembangkan. Suatu asumsi dalam sebuah teori sangatlah penting, karena selain menentukan karakteristik teori sosialnya, pernyataan asumtif juga akan memberi arah dan landasan bagi setiap aktivitas analisis. Dengan kata lain, suatu pengetahuan, baru dianggap benar selama asumsi-asumsinya dianggap benar. Oleh karena itu, sebagai langkah pertama dari perumusan teori sosial Qur’ani ini, diperlukan pengetahuan tentang asumsi-asumsi Qur’ani yang paling mendasar tentang gambaran hakikat manusia dan masyarakat.

Dalam tulisan ini, kiranya tidak mungkin asumsi-asumsi Qur’ani di atas dapat dijelaskan secara tuntas mengingat keterbatasan dalam pembahasannya. Kesulitan ini juga didasarkan pada keterbukaan Al-Quran yang interpretable, tidak tetutup dalam interpretasi tunggal. Karenanya, memungkinkan adanya pluralitas pemahaman atau interpretasi terhadap asumsi-asumsi Qur’ani mengenai gambaran hakikat manusia dan masyarakat yang tidak dapat digabungkan dengan mudah dalam suatu asumsi tunggal. Adalah tugas kita untuk meramu dan menemukan asumsi-asumsi Qur’ani yang sesuai dengan elan profetis universal Al-Quran atau menemukan apa yang disebut Max Weber sebagai tipe ideal.

Kedua, memahami Al-Quran dalam kerangka aksiologi untuk menemukan kerangka moral, etis dan prinsip-prinsip nilai Qur’ani. Aksiologi adalah filsafat tentang nilai. Pokok persoalannya adalah sifat dasar nilai, macam-macam nilai, ukuran nilai, dan kedudukan metafisis dari nilai. Memahami Al-Quran dalam kerangka aksiologis artinya menggali petunjuk Al-Quran untuk menemukan pandangan-pandangan moral dan etisnya. Prinsip-prinsip nilai, moral dan etis ini harus dirumuskan secara sistematis hingga merefleksikan sistem etika Qur’ani.

Etika Qur’ani ini penting selain untuk membangkitkan kesadaran moral dalam menerima norma agama, juga untuk memikirkan dan menganalisis perbuatan yang akan dilakukan.
Ketiga, merumuskan kerangkan etis atau prinsip nilai Qur’ani tersebut menjadi teologi atau filsafat sosial untuk mengungkapkan filosofi sosialnya.
Pemahaman Al-Quran dalam kerangka aksiologis ini tidak hanya menemukan prinsip-prinsip nilai, moral dan etis, tetapi juga akan menemukan wisdom-wisdom (hikmah) yang berdimemsi sosial (social ethic)nya. Dalam kajian Al-Quran (Qur’anic Studies), banyak dikemukakan bahwa statemen Al-Quran baik dalam bentuk konsep-konsep, amtsal-amtsal (analogical) maupun sejarah, mengandung wisdom-wisdom atau hikmah tertentu yang harus digali dalam rangka menemukan refleksi filosofis etis individual dan etis-sosialnya. Filososfi sosial Qur’ani ini harus dirumuskan sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan menggerakkan kesadaran moral publik. Etika Qur’ani sebagai proposisi etis harus ditransformasikan menjadi proposisi-proposisi hukum dan diinterpretasikan dalam paradigma aktual untuk mengatur semua pranata sosial. Dalam konteks ini, prinsip nilai dasariah yang bersifat etis harus dibedakan dengan penjabaran nilai etis tersebut ke dalam berbagai tujuan yang bersifat operasional. Dengan cara kerja intelektual seperti ini, maka filosofi-filosofi sosial Qur’ani akan sangat mudah diungkapkan.

Keempat, (terakhir), memahami Al-Quran dalam kerangka epistemologis untuk menurunkan sistem etika atau prinsip nilai Qur’ani dan filosofi sosialnya di atas menjadi teori-teori atau body of knowledge empiris dan rasional. Langkah keempat ini adalah menurunkan premis-premis normatif Al-Quran menjadi teori-teori yang empiris dan rasional dengan memanfaatkan pendekatan scientific method. Di sini, langkah-langkah teoritis yang biasa digunakan oleh ilmu sosial (komponen-komponen informasi dan kontrol metodologis) dapat diterapkan dalam perumusan teori sosial Qur’ani yaitu dengan menempuh empat langkah metodis sebagai berikut :

Observasi -- Generalisasi Empiris -- Teori -- Hipotesa

1. Observasi
Selama ini, penafsiran terhadap konsep Al-Quran hanya sampai pada formulasi hipotesa atau meminjam istilah kuntowijoyo hanya sampai pada tingkat normatif saja, dan belum diturunkan pada tingkat empirisnya. Sehingga tidak heran jika doktrin-doktrin Al-Quran masih berada pada tingkat abstraksi murni yang kurang menyentuh dunia empiris. Melalui bantuan metode ilmiah atau scientific method (dalam hal ini metode ilmu sosial), maka kecenderungan tersebut dapat disiasati melalui observasi pada tingkat empiris dengan mempelajari situasi atau gejala sosial yang terjadi baik pada masa lampau ketika Al-Quran turun, maupun pada situasi atau gejala sosial sekarang. Bagaimana misalnya melakukan penelitian empiris terhadap konsep “ummatan wasatha” pada situasi sosial ketika Al-Quran diturunkan, dan situasi sosial kontemporer.
Dalam literatur metodologi, observasi memilki dua pengertian. Pertama, cara mengumpulkan data dengan pengamatan; dan kedua, informasi atau data yang dikumpulkan dalam penelitian. Dalam pengertian pertama, observasi merupakan cara kerja dalam mengumpulkan data, sementara observasi dalam pengertian kedua merupakan kumpulan data yang kemudian memerlukan metode pengolahan data.

Dengan demikian, kedua-duanya sama-sama memerlukan cara atau metode observasi. Bagimana suatu masyarakat dapat menjelaskan konsep ummatan wasatha, qaum atau millah. Namun untuk menghindari kesulitan metodis, M. Dawam Rahardjo memberikan pendekatan alternatif, yaitu pendekatan fenomenologis, riset aksi dan grounded research. Pendekatan fenomenologis memberikan pemahaman gejala secara langsung tanpa terbebani oleh nilai-nilai asumtif yang telah menciptakan bias pada sikap; pendekatan riset aksi, secara langsung melakukan aksi lapangan (amal shaleh) dengan berpedoman pada kerangka etis. Dari pengalaman aksi ini dapat dibangun teori-teori baru yang lebih realistik dan membumi. Sementara pendekatan graunded research akan terhindar dari kungkungan teori-teori yang telah mapan.

Dari ketiga pendekatan ini diharapkan dapat dikonstruksi suatu body of knowledge yang merupakan substansi dari apa yang nanti mungkin dapat disebut sebagai teori sosial (ummatiyah) Qur’ani yang operasional. Data yang sangat banyak dan telah berbentuk angka-angka sebagai hasil observasi, kemudian disederhanakan agar dapat membuat kesimpulan-kesimpulan dari observasi tersebut. Dalam proses ini, statistik sering digunakan, karena salah satu fungsi statistik adalah menyederhanakan data. Dan karena statistik merupakan data tentang sampel, maka perlu diadakan perkiraan tentang ketepatan statistik bagi populasi. Proses perbandingan tentang informasi sampel dan informasi tentang populasi ini disebut perkiraan parameter. Dengan demikian, pengukuran, penyederhanaan dan perkiraan parameter akan merupakan kontrol metodologis dalam melakukan observasi.

2. Generalisasi Empiris
Atas dasar data-data yang telah diseder-hanakan tersebut, kemudian membuat generalisasi empiris atau kesimpulan-kesimpulan umum yang didasarkan atas fakta-fakta empiris tentang sampel penelitiannya. Bagaimana sebenarnya konsep tentang ummatan wasatha, fuqara, dhu’afa dan sebagainya.
Dalam penelitian verifikatif atau penelitian untuk menguji teori, akan mencoba menghasilkan informasi ilmiah baru yakni status hipotesa yang berupa kesimpulan apakah hipotesa dapat diterima atau ditolak. Informasi ini diperoleh melalui pengujian hipotesa. Berdasarkan status hipotesa inilah dibuat inferensi logika untuk menyimpulkan apakah teori yang digunakannya mendapatkan dukungan empiris atau tidak. Apakah teorisasi penafsiran konsep ummatan wasatha tersebut sesuai dengan realitas atau tidak. Bila hipotesa terbukti, berarti teori mendapat dukungan empiris dan karenanya kedudukan teori (hasil penafsiran konsep Al-Quran) tersebut menjadi semakin kuat; dan jika tidak—dan meyakini kebenaran metode penelitiannya, maka teori (penafsiran konsep Al-Quran ) perlu dimodifikasi.

3. Analisis Teori
Teori didefinisikan sebagai seperangkat proposisi yang dinyatakan secara sistematis dan saling berhubungan secara logis serta didasarkan pada fakta empiris. Komponen-komponen teori terdiri atas konsep; sistem klasifikasi dan proposisi. Konsep merupakan bahan mentah teori yang paling mendasar. Karya teoritis pada tingkatan konseptual meliputi definisi, analisa konseptual dan pernyataan yang menegaskan adannya gejala empiris yang ditunjuk oleh suatu konsep. Pada tingkatan klasifikasi karya teoritis mencakup pembentukan kategori dan klasifikasi gejala-gejala empiris; dan pada tingkatan proposisi dirumuskan pernyataan yang menghubungkan dua atau lebih proposisi.

Dengan melakukan analogi terhadap komponen teori dan karya teoritisnya, maka kita akan dapat melakukan penafsiran Al-Quran dengan melakukan teorisasi Al-Quran, yakni melakukan analisa konseptual (mendefinisikan, merumuskan pernyataan tentang sebuah gejala sosial) dalam Al-Quran, kemudian melakukan kategorisasi dan klasifikasi mengenai gejala-gejala tersebut untuk selanjutnya menyusun proposisi Al-Quran tentang gejala tersebut dengan menghubungkan beberapa konsep Al-Quran.
Sekedar memberikan gambaran sederhana mengenai teorisasi Al-Quran ini, dapat dikemukakan beberapa catatan sebagai berikut:

a. Analisa konseptual
Pada tahap ini, konsep-konsep Al-Quran didefinisikan secara jelas, sehingga memberikan gambaran yang jelas tentang suatu gejala. Misalnya konsep tentang “ummatan wahida atau ummatan wasatha” yang menurut Abduh dan M. Dawam Rahardjo tidak akan dapat dipahami kecuali dengan memahami sejarah dan sosiologi serta melakukan penelitian empiris, konsep “fuqara, dhu’afa, mustad’afin, mufsidun, aghniya dan sebagainya. Syarat dalam analisa konseptual ini, sebagaimana telah dijelaskan adalah bahwa pertama, konsep itu harus analitik (penyimpulannya dilakukan secukupnya sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperkirakan karakteristik suatu keutuhan yang kongkrit); kedua, konsep itu harus peka (dapat memberikan gambaran yang bermakna).
Analisa konseptual dalam penafsiran Al-Quran ini penting, karena akan menghubungkan dunia teori (tingkat abstraksi) dengan dunia observasi.

b. Klasifikasi
Setelah mendapat gambaran dari suatu gejala dari konsep Al-Quran tersebut, kemudian melakukan kategorisasi dan klasifikasi misalnya konsep Al-Quran tentang masyarakat yang menggunakan istilah (gejala) ummah, ummatan wasatha, ummatan wahida, qaum, millah, syu’ub, qabilah dan sebagainya. Klasifikasi dan kategorisasi konsep Al-Quran ini penting untuk memahami keutuhan gambaran gejala Al-Quran dan akibat hukumnya.

c. Perumusan Proposisi
Setelah melakukan kategorisasi dan klasifikasi dari konsep-konsep Al-Quran tersebut, kemudian gambaran pernyataannya dihubungkan (diintegrasikan) satu sama lainnya hingga membentuk suatu bangunan teori Al-Quran tentang “ummatan wasatha”, tentang fuqara, dhu’afa dan konsep-konsep lainnya.

4. Merumuskan Hipotesa
Hipotesa adalah instrumen kerja dari teori yang penting dan tidak dapat ditinggalkan. Hipotesa biasanya merupakan deduksi logika dari teori atau proposisi yang sifatnya lebih spesifik, sehingga lebih siap untuk diuji secara empiris. Misalnya hendak menjelaskan kenapa pada konteks tertentu Al-Quran menggunakan konsep ummah atau qaum dan pada konteks yang lainnya menggunakan konsep millah. Untuk hal ini, maka diperlukan teori pengkutuban atau social organization.

Hipotesa memberikan informasi tentang variabel-variabel penelitian dan hubungannya. Untuk informasi yang cocok dengan variabel-variabel tadi, maka serangkaian kontrol metodologis harus dilakukan; yaitu, pertama, melakukan interpretasi terhadap konsep yang dipakai dalam penelitian (konstruknya) serta variabel yang dirumuskan dari konsep tersebut; kedua, menyusun instrumen, skala dan penentuan sampel. Hipotesa inilah yang akan menentukan bagaimana cara melakukan observasi.

Epilog : Suatu Kesimpulan
Dari pemaparan yang panjang lebar di atas, dapat diambil bebarapa kesimpulan di bawah ini :

1. Saintifikasi Al-Quran adalah merupakan upaya memahami pesan universal doktrin Al-Quran melalui kerangka disiplin ilmu-ilmu atau dalam bahasa filsafat ilmu, menggali petunjuk wahyu Ilahi berdasarkan kerangka ontologi, epistemologi dan aksiologi.

2. Signifikansi dari saintifikasi Al-Quran ini, tetap mengacu kepada signifikansi penafsiran pesan universal Al-Quran secara umum yakni bahwa saintifikasi Al-Quran merupakan kebutuhan intelektual-religius dan sejarah yang memiliki signifikansi teologis dalam menempatkan Islam shâlih li kulli zamân wa makân dan signifikansi sosiologis dalam menggerakkan Islam menjadi kekuatan sosial, ekonomi, politik, dan budaya bahkan menjadi kekuatan peradaban serta menjadi idiologi modern yang hidup.

3. Saintifikasi Al-Quran akan lebih memberikan signifikan lagi jika dilakukan telaah internal terhadap Al-Quran sendiri. Ada beberapa alasan kenapa saintifikasi Al-Quran tersebut menjadi signifikan. Pertama, Al-Quran sebagai respons Ilahi terhadap setting sosio-moral Arab yang ditujukan untuk merespons sosio-moral alam universal (sebagai rahmatan li al-‘alamin), menuntut penelusuran terhadap konteks historis ketika Al-Quran diturunkan (konteks nuzul) dan konteks historis ketika Al-Quran hendak diterapkan (konteks tathbiq). Kedua, bahwa sebagian teks Al-Quran memasuki wilayah kajian empiris dan historis sehingga kebenaran statemennya terbuka untuk dibuktikan (diverifikasi) dan dihadapkan pada metodologi keilmuan. Ketiga, Al-Quran memberikan kemungkinan arti yang tidak terbatas (mengandung pluralitas makna) sehingga ayat-ayatnya terbuka untuk interpretasi baru, tidak pernah tertutup dalam interpretasi tunggal.

4. Berdasarkan pemaparan di atas juga, dapat disimpulkan bahwa saintifikasi Al-Quran memberikan peluang bagi perumusan teori sosial Qur’ani atau menyusun body of knowledge yang didasarkan pada premis-premis normatif Al-Quran. Perumusan teori sosial Qur’ani tersebut dapat dilakukan melalui langkah-langkah metodis: (a) Menjadikan Al-Quran sebagai paradigma untuk menjelaskan asumsi-asumsi Qur’ani mengenai gambaran hakikat manusia dan masyarakat; (b) Memahami Al-Quran dalam kerangka aksiologi untuk menemukan kerangka moral, etis dan prinsip-prinsip nilai Qur’ani; (c) merumuskan kerangkan etis atau prinsip nilai Qur’ani tersebut menjadi teologi atau filsafat sosial untuk mengungkapkan filosofi sosialnya dan (d) memahami Al-Quran dalam kerangka epistemologis untuk menurunkan sistem etika atau prinsip nilai Qur’ani dan filosofi sosialnya di atas menjadi teori-teori atau body of knowledge empiris dan rasional.

5. Langkah keempat ini adalah menurunkan premis-premis normatif Al-Quran menjadi teori-teori yang empiris dan rasional dengan memanfaatkan pendekatan scientific method. Di sini, langkah-langkah teoritis yang biasa digunakan oleh ilmu sosial (komponen-komponen informasi dan kontrol metodologis) dapat diterapkan dalam perumusan teori sosial Qur’ani yaitu dengan menempuh empat langkah metodis : (a) Observasi ; (b) Generalisasi Empiris; (c) Teori dan (d) Hipotesa. Wallahu a’lam.